Situasi serupa akan mudah ditemui di Ciputat atau lokasi-lokasi lain sekitar Jabodetabek. Sampah-sampah dalam kantong keresek lazim dibuang warga saat mereka berangkat kerja.
Mereka yang bermobil atau mengendarai sepeda motor adalah para pembuang sampah sembarangan. Sampah-sampah itu tidak hanya dibuang di median jalan atau di pinggir jalan, tetapi juga ke lahan-lahan kosong di mana pun, termasuk di tepi sungai.
Di sejumlah lokasi, larangan membuang sampah bahkan ditulis dengan kalimat-kalimat (sangat) kasar. Misalnya, ”Dilarang membuang sampah, kecuali anjing...” atau kalimat kasar lainnya. Tetapi, hal itu ternyata tidak mengurangi kebiasaan buruk itu.
Membuang, mengolah, atau mengelola sampah di Ibu Kota dan daerah sekitarnya bukan persoalan mudah. Ini bukan melulu soal sistem pengelolaan sampah yang belum terpadu.
Kebiasaan warga kota membuang sampah sembarangan menjadi tantangan tersendiri. Walaupun semua agama mengajarkan mengenai pentingnya kebersihan, tidak lantas menjadikan pemeluknya bijak menangani sampah.
Sejumlah perumahan pun kewalahan, apalagi di perkampungan. Di sebuah tatar (cluster) rumah mewah di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, misalnya, sejumlah spanduk dipasang di sejumlah lokasi.
Isinya berupa imbauan agar warga membayar iuran pemeliharaan lingkungan (IPL). Sejumlah warga menunggak tidak membayar IPL. Hal itu mengakibatkan pengurus perumahan juga kesulitan mendapatkan biaya operasional untuk mengelola sampah.
Sejumlah pengurus rukun tetangga (RT) biasanya memberikan sanksi. Sampah tidak diangkut bagi warga yang tidak membayar iuran lingkungan. Menyelesaikan masalah? Tidak juga. Mereka itulah, antara lain, yang dengan enteng membuang sampah di jalanan atau melempar ke kali. Bahkan, banyak di antaranya memiliki kendaraan roda empat. Artinya, mereka bukan warga kekurangan dari segi finansial.
Masih tradisional
Penanganan sampah memang bukan persoalan gampang. Apalagi, saat cara penanganannya masih tradisional. Di Kota Bekasi, misalnya, setiap hari 800 ton sampah tidak terangkut. Jumlah itu hampir setengahnya dari 1.600 ton sampah yang dihasilkan kota pinggiran Jakarta itu.
Sementara volume sampah yang dihasilkan warga Ibu Kota mencapai 6.500 ton per hari. Sampah itu sebagian besar, yakni sekitar 53 persen, berasal dari rumah tangga. Sisanya, ya, sampah industri.
Penanganannya masih sederhana. Sampah warga itu dikumpulkan di tempat pembuangan sampah sementara, kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Untuk Jakarta, TPA ini berada di Bantar Gebang, Bekasi.
Sebenarnya ada sanksi hukum bagi warga Ibu Kota yang membuang sampah sembarangan, seperti tercantum dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah. Peraturan itu bahkan mengatur jam buang sampah warga hingga larangan membuang sampah di sungai/kali, kanal, waduk, situ dan saluran air limbah, jalan, taman, serta tempat umum lainnya.
Mungkin saatnya pemerintah kota menghukum mereka yang membuang sampah sembarangan. Langkah itu setidaknya untuk memberikan efek jera. Atau, memang sikap masyarakat terhadap sampah itu, ya, memang cerminan dari masyarakat itu sendiri?
Yang jelas, kita bukan bangsa sampah, bukan? (Agus Hermawan)