JAKARTA, KOMPAS.com - Jaringan Nasional Advokasi Pembantu Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat ada 123 kasus tindak kekerasan yang dialami pembantu rumah tangga (PRT) selama kurun waktu Januri-Mei 2016.
Dari beberapa kasus yang muncul ke masyarakarat, bentuk kekerasan terhadap PRT seperti pemukulan, baik menggunakan benda tumpul maupun tajam, menggunakan bahan kimia berbahaya, hingga adanya pelecehan seksual.
Koordinator JALA Lita Anggaraini mengatakan, bahwa kekerasan tersebut terjadi karena tidak adanya aturan yang jelas terkait jaminan keamanan dari PRT.
"Sampai sekarang tidak ada pengakuan kalau PRT adalah pekerja, dan akhirnya para majikan merasa jika tidak ada aturan artinya perlakukan semena-mena bisa terus terjadi, artinya negara tidak hadir saat ini," ujar Lita saat dihubungi Kompas.com, Kamis (5/5/2016).
Lita menyebut sampai sekarang tidak ada Undang-undang yang mengatur tentang PRT. Dirinya juga menilai pemerintah seperti menutup mata terhadap banyaknya kasus kekerasan yang menimpa PRT.
Salah satunya ketika ada penolakan usulan untuk mengesahkan Rancangan Undang undang PRT untuk mengatur sistem kerja yang layak bagi PRT.
Lita menyebut, dari 123 aduan tindak kekerasan, ada 15 kasus di mana terjadi pemecatan sepihak yang dilakukan majikan terhadap PRT.
Tak hanya itu, ketika dipecat, PRT tersebut tidak mendapat gaji secara penuh. Alasanya, pemecatan tersebut dikarenakan para majikan menganggap bahwa PRT yang sakit sudah tidak bisa lagi bekerja secara normal.
"Ada 15 PRT yang gajinya dipotong dan dipecat karena tidak bisa masuk kerja walapun sudah menujukan surat dokter. Akhirnya kami mensomasi majikan, karena itu kan tindak pelanggaran terhadap pekerja rumah tangga," ujar Lita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.