Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM dan Kasus Talangsari

Kompas.com - 23/09/2008, 00:26 WIB

Achmad Ali

Polemik ”kasus Talangsari” yang kini mencuat tidak perlu dipertajam jika diletakkan dalam koridor hukum, baik yang menggunakan pendekatan normatif maupun sosiologis dan filosofis.

Maka, kasus Talangsari tidak digunakan dengan tendensi politik tertentu. Penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu seyogianya menggunakan restorative justice yang berfokus pada ”kepentingan korban” yang berakhir dengan pemberian kompensasi atau restitusi kepada korban.

Semua pihak harus memahami hukum acara yang berlaku, baik oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun pengadilan, agar tidak melakukan pelanggaran hukum sekadar hanya karena ingin menegakkan hukum.

Kewenangan penyidik

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait kasus Talangsari telah melaksanakan kewenangannya berdasarkan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yaitu sebagai ”penyelidik” untuk kasus- kasus dugaan pelanggaran HAM berat (Pasal 18 Ayat 1).

Dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat, penyidik dan penuntut umum adalah Jaksa Agung. Pasal 10 UU No 26/2000 mempertegas, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yang berlaku adalah hukum acara pidana, berarti KUHAP.

Terkait kewenangan penyidik, KUHAP menentukan sejumlah kewenangan penyidik yang mutlak membutuhkan keberadaan pengadilan yang berwenang lebih dulu. Contoh, untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan. Pasal 38 Ayat 1 UU No 26/2000 menentukan, ”Penyitaan hanya bisa dilakukan penyidik dengan surat izin ketua pengadilan.”

Pengadilan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No 26 Tahun 2000 adalah Pengadilan HAM Ad Hoc. Dengan demikian, secara yuridis sudah amat tepat jika pihak penyidik, dalam hal ini Jaksa Agung, menolak memulai proses penyidikan sebelum terbentuknya suatu Pengadilan HAM Ad Hoc. Kalaupun ketentuan itu pernah dilanggar Jaksa Agung sebelumnya, tentunya kita selalu menuntut agar ”hukum dijadikan panglima: kesalahan itu tidak diulangi lagi. Jadi, sikap Jaksa Agung untuk tidak memulai penyidikan sebelum ada Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan tindakan profesional, sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.

Realitas hukum

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com