Ku ambil buluh sebatang. Ku potong sama panjang. Ku raut dan ku timbang dengan benang. Ku jadikan layang-layang...”
KOMPAS.com - Tentu lagu ”Layang-Layang” itu terdengar usang di tengah kota Jakarta karena nyaris tak ada lagi anak-anak di kota ini yang membuat mainan dari alam sekitar. Namun, tak demikian permainan layang-layang. Permainan menerbangkan kertas tipis yang dibentuk dengan rangka buluh atau bambu ini masih memperoleh tempat yang luas di hati kita.
Ketika matahari condong ke barat, itulah saatnya anak-anak hingga orang dewasa memenuhi sebagian jalur sepeda Kanal Timur, Jakarta Timur, untuk menerbangkan layang-layang.
”Tok, sini Tok. Ngadu Tok,” ujar Renaldi (13), siswa kelas VI SD, seraya berteriak kepada temannya, Antok, yang berdiri di seberang bibir Kanal Banjir Timur.
Musim kemarau sekarang ini memang masih kerap diguyur hujan, tetapi angin yang berembus juga cukup kencang. Kondisi angin ini cocok untuk menerbangkan layang-layang. ”Sudah dari sebelum bulan puasa, anginnya bagus untuk layang-layang,” kata Renaldi.
Entah siapa yang mendahului, sudah 2 bulan ini Kanal Timur ramai orang bermain layangan. Sejak itu pula Renaldi ikut menerbangkan layangan di sana. Tujuannya tak hanya untuk mengadu layangan, tetapi juga melatih tangannya mengendalikan layangan untuk bergerak ke samping, ke atas, ataupun gerakan untuk memutus tali senar layangan lawan.
Renaldi tak sendiri. Ayahnya, Toni (37), juga ikut bermain. Toni antusias menerbangkan layangan. ”Main layangan tuh menyenangkan, bisa lepas lelah setelah kerja,” kata Toni yang bekerja sebagai buruh bangunan ini.
Bahkan, Toni mengatakan, kerap mengadu layangan dengan karyawan yang baru pulang dari kantor. ”Puasa kemarin, banyak orang pulang kerja, mampir dulu main layangan di Kanal Timur. Sering kami adu layangan dengan mereka,” katanya.
Kesenangan Toni bermain layangan saat ini seperti menemui jawaban kerinduannya pada layangan. Sebab, sudah tak mudah menerbangkan layangan di tengah kota Jakarta yang padat penduduk.
Bagi yang belum pandai menerbangkan layangan tak jarang harus pasrah layangannya jatuh ke tengah aliran Kanal Timur. Eki (8), salah satunya, dengan wajah kesal terus berusaha menarik layangan yang sudah basah sebagian karena terjatuh di pinggir kanal.
Dengan sabar pula siswa kelas II SD ini menarik layangan itu dari dahan-dahan semak yang membuat layangannya tersangkut. Berhasil menarik layangannya yang sudah basah dan terkoyak sebagian, Eki tetap bersemangat kembali menerbangkannya.
Padahal, saat membeli layangan, Eki mengaku, hampir setiap hari membeli layangan karena kalah mengadu layangan. ”Setiap hari beli layangan. Sering kalah ngadu,” ujarnya.
Harga layangan ini tak mahal, hanya Rp 1.000 per lembar. Tali galasan untuk menerbangkan layangan, ada yang dijual seharga Rp 2.500 per gulung hingga Rp 5.000 per gulung.
Yani (50), salah seorang penjual layangan mengaku, peminat layangan tak pernah surut. Sejak 2 bulan terakhir menjual layangan di Kanal Timur, sehari Yani bisa menjual 200 lembar layangan atau sekitar Rp 200.000 pasti dibawa pulang setiap hari. (MDN)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.