Kondisi itu tidak saja menurunkan kualitas kesehatan masyarakat karena dampak polusi udara, tetapi juga kerugian ekonomi yang mencapai puluhan triliun rupiah akibat pemborosan energi dan turunnya produktivitas nasional.
Kini, ramalan itu menjadi kenyataan. Seluruh jaringan jalan di Jakarta nyaris menjadi lahan parkir. Kemacetan tidak hanya terjadi pada jam sibuk di hari kerja, tetapi juga sepanjang waktu.
Waktu tempuh kian lama dan tidak bisa diprediksi. Kerugian bukan hanya materi, melainkan juga jiwa. Tak sedikit warga kota yang membutuhkan pelayanan cepat terganggu. Misalnya, butuh ambulans ke rumah sakit, atau butuh pemadam untuk menangani kebakaran.
Ironisnya, pemangku kepentingan, pebisnis, maupun warga kota sepertinya tidak pernah belajar. Mereka tetap saja terus berkontribusi pada kemacetan dengan perilaku buruk di jalan raya. Tak terjadi peralihan secara masif dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum. Juga tetap terjadi konversi lahan hijau untuk hunian dan pusat bisnis tanpa kajian analisis mengenai dampak lingkungan.
Berbagai kajian ataupun studi banding yang dilakukan birokrasi, lembaga penelitian, juga DPR dan DPRD untuk mengatasi kemacetan hanya jadi tumpukan kertas tanpa implementasi.
Pembiaran itu termasuk 17 langkah menangani kemacetan yang hanya sebatas di atas kertas. Tidak ada implementasi yang jelas, serius, dan tuntas dari berbagai instansi atau kementerian terkait. Hal itu antara lain terbukti dari fakta kondisi infrastruktur bus transjakarta yang kian memprihatinkan dan tidak steril jalurnya. Belum lagi jumlah bus tak memadai, stasiun pengisian bahan bakar gas yang tidak juga bertambah, belum ada kebijakan pembatasan kendaraan, dan belum terealisasinya restrukturisasi angkutan umum.
Itu bukti bahwa semua pihak tidak pernah mau belajar dari realitas dan pengalaman yang berulang terjadi. Kebijakan hanya bersifat parsial. Misalnya, meningkatkan kapasitas jaringan jalan dengan menambah pembangunan ruas tol di dalam kota atau jalan layang non-tol, menutup akses lalu lintas bagi pengendara roda dua di beberapa ruas jalan protokol tertentu, tetapi tidak melakukan rekayasa penanganan pintu masuk dan keluar tol yang berada beberapa ratus meter dari persimpangan.
Hasilnya mudah ditebak: kebijakan itu tak lagi menjadi obat mujarab untuk mengatasi macet dalam jangka menengah, apalagi jangka panjang. Lihat saja kemacetan yang kini melanda di tol jalan lingkar luar Jakarta ruas Cikunir-Tanah Kusir dan sebaliknya. Padahal, dulu ruas tol dari wilayah timur menuju ke arah selatan Jakarta ini paling nyaman dan longgar. Namun, kini, menjadi jalur "neraka" bagi konsumennya setelah akses W1 dan W2 terhubung.
Kapasitas jaringan jalan di ruas tol tersebut tak mampu lagi menanggung beban arus kendaraan. Kemungkinan itu terjadi karena perencanaan yang tidak memperhitungkan pertumbuhan kendaraan dan mobilitas warga untuk jangka menengah-panjang. Faktor lain adalah ujung keluar jalur tol atau layang tersebut tepat berada di mulut persimpangan, seperti di kawasan Kuningan, Pancoran, Fatmawati, Pondok Indah, dan Rawamangun.
Begitu kendaraan masuk ke ruas jalan arteri, terjadi sumbatan leher botol karena terpotong untuk jalur simpangan ke kiri atau ke kanan jalan. Kapasitas yang tersedia kian sempit termakan oleh lengan simpangan dari kapasitas jaringan jalan yang ada.
Langkah penanganan
Upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas jaringan jalan yang termakan persimpangan sebidang yang lebarnya tinggal tersisa sepertiga dari kapasitas yang ada.
Hal lain yang mendesak dilakukan oleh perencana kota, pemerintah, pelaku industri dan jasa adalah menjadikan kawasan itu sebagai kota mandiri yang utuh dan terintegrasi. Kota mandiri memiliki magnet kuat untuk meminimalkan warganya bermobilitas ke kota inti Jakarta. Sebagian besar warganya tentu memilih tetap tinggal dan bekerja di kota mandiri.
Langkah lain yang harus dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, ataupun daerah, serta swasta, merelokasi kantor ke kota mandiri di wilayah selatan, barat, dan tenggara Jakarta. Dengan demikian, kawasan seperti Sentul, Cibubur, Bogor, Serpong, Karawaci, Cikarang, dan Bekasi menjadi kota satelit baru yang mandiri.
Kota-kota itu bakal menjadi pusat-pusat ekonomi baru, pendidikan dan kesehatan yang terintegrasi dengan aksesibilitas yang tinggi. Syaratnya, semua kota baru dan mandiri itu terhubung dengan kota inti Jakarta melalui jaringan transportasi berbasis rel dan angkutan perbatasan yang terintegrasi.
Kota penyangga itu menjadi kota satelit yang kompak dengan jaringan transportasi massal yang masif dan andal. Langkah tersebut wajib diikuti dengan upaya memperbanyak hunian vertikal dan mendisinsentif landed house. Kebijakan itu akan menekan pengembang menjadi '"lapar tanah" dan membabi buta mengubah lahan tutupan hijau menjadi perumahan. Membuka peluang memberlakukan jam kerja fleksibel bagi para pekerjanya, serta mendorong peluang bagi tumbuhnya wirausaha baru yang membangun kegiatan usaha di rumah mereka.
Membangun sistem pelayanan jasa antaran atau kurir bagi berbagai aktivitas bisnis ataupun kuliner sehingga mengurangi publik melakukan perjalanan massal. Menyiapkan kantong-kantong parkir dengan tarif yang relatif murah di berbagai pusat perjalanan, seperti stasiun dan terminal.
Berbagai studi di dunia membuktikan, tanpa penanganan komprehensif, kemacetan tidak akan pernah terurai. Jakarta, mulailah belajar dan melangkah maju...! (BANU ASTONO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.