Rambu bertuliskan "Jalur Khusus Sepeda" lengkap dengan gambar sepeda terpasang. Mungkin biar lebih tegas-atau mungkin biar proyek pengadaan rambu bertambah-rambu bergambar panah juga dengan gambar sepeda diletakkan di sampingnya.
Dua tahun lalu, jalan inspeksi Banjir Kanal Timur (BKT) itu dinyatakan tertutup untuk sepeda motor, hanya sepeda yang dibolehkan lewat. Saat meresmikannya, Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta saat itu, menyempatkan diri bersepeda di jalur sepanjang 6,7 kilometer itu.
Sejak awal, jalur sepeda di BKT itu tidak berjalan mulus. Bahkan saat itu, sejumlah pesepeda berjibaku menghadang para pesepeda motor yang ramai-ramai melanggar rambu dan memasuki jalur khusus sepeda. Para pesepeda bertekad menjaga jalur itu hanya untuk sepeda. Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur juga menempatkan sejumlah petugasnya untuk menjaga agar pesepeda motor tidak masuk ke jalur sepeda.
Namun, itu cerita lalu. "Pertahanan" menjaga jalur sepeda itu akhirnya jebol. Bukan karena para pesepeda menyerah. Namun, sejak Jumat (6/3) pekan lalu, Kepala Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur Bernard Oktavianus Pasaribu mempersilakan pesepeda motor memasuki jalur khusus sepeda itu. Alasannya, untuk mengurai kemacetan yang biasa terjadi di sepanjang Jalan Kolonel Sugiono hingga Jalan Basuki Rahmat.
Kasus perubahan kebijakan jalur khusus sepeda di BKT itu contoh kecil yang bisa mencerminkan ketidakkonsistenan Pemprov DKI dalam kebijakan transportasi. Orang Jakarta mungkin bilang, "Jangankan menjalankan 17 langkah mengatasi kemacetan DKI, ngurus lajur sepeda saja enggak becus."
Sepeda memang masih terkesan dianaktirikan dalam sistem transportasi lalu lintas Ibu Kota. Kalaupun dibuatkan lajur khusus sepeda, seperti di beberapa lokasi, hal itu lebih ke sekadar basa-basi seremonial.
Setiap hari para pesepeda seperti berjuang di jalanan Jakarta. Mereka terpaksa menggunakan badan jalan bertempur dengan mobil, sepeda motor, atau angkutan umum yang saling serobot. Mereka terpaksa melipir di bahu jalan atau trotoar yang tidak dilengkapi fasilitas untuk pesepeda.
Berbeda dengan sepeda motor, yang secara masif merangsek memenuhi jalanan Ibu Kota. Kalaupun ada pembatasan di jalan protokol, pertumbuhan kepemilikan sepeda motor tidak tertahankan.
Kehadiran sepeda motor ibarat "anak haram" yang lahir dari buruknya pelayanan angkutan umum di Jakarta yang tidak juga kunjung baik. Jumlahnya semakin membesar dan tidak terkendali. Bisa jadi karena di dalamnya juga ada kepentingan industri otomotif, mudahnya mendapatkan kredit sepeda motor dan banyak hal lainnya.
Kemacetan lalu lintas di Jakarta ibarat benang kusut. Berita di berbagai media juga ibarat mengulang-ulang lagu lama.
Dari kondisi jalanan setiap hari itu, kita bisa becermin bagaimana kondisi masyarakat ataupun pemerintahnya. Setiap hari kita menyaksikan seperti apa "diri kita".
Kita adalah masyarakat yang saling serobot, sumpah serapah, tidak sabaran, tidak tertib hukum, anti tertib dan disiplin, merasa benar sendiri, atau mengeluh kemacetan dari balik kemudi mobilnya sendiri. Mobil yang kebanyakan hanya diisi satu-dua orang memperparah kemacetan itu sendiri.
Bisa jadi benar adanya bahwa kondisi lalu lintas juga bisa menjadi cerminan bagaimana pemerintahan berjalan. Kusut, macet, dan belum memberikan pelayanan kepada rakyat sebagaimana mestinya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.