Pemprov DKI Jakarta menaikkan tarif NJOP sebanyak 20 persen hingga 140 persen melalui Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 175 Tahun 2013. Keputusan ini muncul karena DKI butuh tambahan pemasukan daerah. Alasan lain, sejak 2010, nilai NJOP Jakarta belum pernah naik dan untuk menyelamatkan potensi pajak.
Kebijakan ini ternyata membawa dampak lain. Kenaikan NJOP yang drastis berimbas pada peningkatan tagihan PBB yang harus dibayarkan masyarakat. Harga tanah di Ibu Kota pun makin tinggi sehingga masyarakat makin sulit membeli lahan atau rumah di Jakarta.
Enam dari 10 responden dalam jajak pendapat Litbang Kompas lewat telepon, dua bulan lalu, menilai PBB di Ibu Kota saat ini mahal. Separuh responden mengaku membayar pajak jenis ini kurang dari Rp 1 juta per tahun. Sementara itu, satu dari empat keluarga di Jakarta membayar Rp 1 juta hingga Rp 10 juta untuk PBB.
Kenaikan PBB setelah kenaikan NJOP pun dirasakan tinggi. Hampir separuh responden menyatakan tarif PBB yang dibayarkan tahun lalu naik lebih dari 50 persen daripada periode sebelumnya.
Seperti cerita Abdul Latief, warga Semper Timur, Jakarta Utara. Pada 2013, dia masih membayar pajak sekitar Rp 16.000. Setahun setelah itu, nilai pajak melonjak menjadi Rp 216.000 (Kompas, 27 Maret 2014).
Tak mencapai target
Tingginya tagihan menenggelamkan minat warga untuk membayar PBB. Terlebih batas waktu pembayaran pajak jenis ini tak jauh dari Lebaran dan tahun ajaran baru sekolah. Pengeluaran sudah banyak tersedot di dua pos tersebut. Selain itu, mahalnya PBB juga mendorong sebagian warga meminta keringanan pajak.
Pemprov DKI memang memberikan keringanan kepada wajib pajak orang pribadi berpenghasilan rendah berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 211 Tahun 2012 tentang Pemberian Pengurangan PBB Perdesaan dan Perkotaan.
Caranya, wajib pajak harus membuat surat keterangan tentang besar penghasilan dari tempat kerja wajib pajak. Surat itu dilampiri fotokopi KTP dan kartu keluarga (Kompas, 21 Agustus 2014).
Bahkan, pada 2014, batas penutupan pembayaran PBB terpaksa diundur karena banyaknya warga yang masih dalam proses mengurus keringanan pajak. Di samping itu, perpanjangan waktu dilakukan untuk menghindari antrean panjang di bank-bank yang telah ditunjuk untuk melayani pembayaran PBB.
Menurut catatan Pemprov, pada akhir Agustus 2014, yang biasanya menjadi batas akhir pembayaran pajak jenis ini, baru terkumpul 67,6 persen dari target Rp 6,5 triliun. Sampai akhir 2014, target tetap tak bisa dicapai. Realisasi PBB DKI Jakarta hanya Rp 5,8 triliun.
Tahun ini, target pendapatan PBB di Ibu Kota dinaikkan menjadi Rp 8 triliun. Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta telah bermitra dengan 13 bank dan PT Pos agar target tahun ini bisa dicapai. Selain itu, surat pemberitahuan pajak terhutang (SPPT) PBB sudah dibagikan sejak awal tahun. Hingga akhir Juli, penerimaan PBB DKI belum sampai 30 persen dari target.
Penghapusan PBB
Tahun depan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ferry Mursyidan Baldan berencana memperingan atau bahkan menghapus PBB bagi sejumlah subyek pajak di seluruh Indonesia, termasuk wilayah DKI.