Di sisi lain, hal ini memberikan tekanan dan godaan tersendiri bagi Anies-Sandi. Tekanan tinggi karena mereka hidup laiknya dalam akuarium.
Setiap mata memandang siap memberikan masukan, bahkan kritik. Bergerak cepat, dibilang tanpa perhitungan dan asal jadi. Bergerak dengan hati-hati, dianggap lamban.
Intensitas tekanan ini bisa membuat Pemimpin Jakarta cenderung mengambil kebijakan simbolik (Anderson: 2010). Simbolik dalam konteks bisa dilihat secara kasat mata kalau mereka sudah melakukan sesuatu dan bermanfaat bagi masyarakat, namun tidak tuntas, dan belum tentu menyentuh akar permasalahan dan merupakan kebutuhan mendesak sebagian terbesar warga Jakarta.
Sorotan luas ini juga bisa memberikan dampak negatif berupa tergodanya Anies-Sandi untuk mengoptimalkan aktivitas mereka di Jakarta sebagai sarana mendapatkan panggung nasional.
Anies-Sandi bisa saja tergiur untuk mengedepankan kebijakan populis, kebijakan yang seakan berpihak pada rakyat banyak, disukai orang banyak, agar mendapatkan liputan luas, meskipun belum tentu memberikan manfaat nyata pada kepentingan umum warga Jakarta.
Pemberitaan luas di media massa maupun menjadi viral di media sosial bisa jadi merupakan salah satu indikator yang dikedepankan dalam memprioritaskan program. Padahal, kebijakan yang disukai oleh masyarakat di media sosial belum tentu selaras dengan kebutuhan masyarakat di dunia nyata.
Apalagi, baru saja menjabat sudah bermunculan wacana Anies sebagai calon presiden ataupun calon wakil presiden RI 2019. Pancingan seperti ini tentunya perlu dihindari.
Ini mengingat pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden RI 2019 bakal dilakukan pada Agustus 2018, kurang dari setahun setelah Anies menjabat. Tentunya kalau ini yang menjadi target, konsentrasi Anies dalam memimpin Jakarta bakal terpecah.