JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai, kerusuhan 21-22 Mei 2019 di Jakarta tidak bisa disamakan dengan kerusuhan Malari 1974 maupun kerusuhan 1998.
Satu hal yang membedakan ketiganya ialah dampak dan eskalasi konflik pascakerusuhan.
"Yang berbeda, (kerusuhan) Malari dan 1998 mengakibatkan eskalasi konflik sosial bahkan kerusuhan yang lebih dalam, sehingga mengakibatkan terjadi perubahan poltik yang sangat besar di negeri ini," ujar Djayadi dalam program AIMAN yang tayang di KompasTV, Senin (24/6/2019).
Baca juga: Tak Ingin Kerusuhan 21-22 Mei Terulang, Kapolri Larang Demo di Depan MK
Meskipun demikian, menurut dia, tiga peristiwa tersebut sama-sama bisa ditunggangi aktor-aktor di luar lapangan untuk mencapai kepentingannya masing-masing.
"Bedanya saat ini, aktor-aktor itu ada, tetapi tampaknya 'lapangannya' tidak sesubur kerusuhan 1998, misalnya," kata Djayadi.
Menurut dia, berdasarkan hasil survei, warga menilai situasi ekonomi nasional baik-baik saja setelah kerusuhan 22 Mei.
Ini berbeda dengan kerusuhan 1998 yang berimbas pada krisis ekonomi dan ketidakpercayaan kepada pemerintah. "Hal-hal seperti ini kan tidak dialami saat ini," ucap Djayadi.
Baca juga: Ini Tanggapan Kapolri soal Dugaan Korban Kerusuhan 21-22 Mei Dieksekusi di Tempat Lain
Meski demikian, Djayadi tak menampik bahwa kerusuhan 22 Mei menimbulkan ketakutan di kalangan tertentu. Namun, menurut Djayadi, ketakutan tersebut tidak berkembang semakin luas.
"Sehingga tidak mudah dimanfaatkan aktor-aktor yang saat ini memanfaatkan untuk tujuan masing-masing. Ada kesamaan (dengan kerusuhan sebelumnya), tapi kondisinya berbeda," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.