JAKARTA, KOMPAS.com - Penyiraman air ke jalan raya dinilai kurang efektif untuk mengatasi polusi udara di Jakarta apabila tidak dilakukan secara massif dengan durasi panjang.
Peneliti Badan Riset Inovasi Nasional Edvin Aldrian mengatakan, penyemprotan air ke jalan raya yang telah dilakukan memang menyerupai guyuran hujan ke tanah.
Namun, air yang turun hanya terjadi sesaat dan tidak merata. Berbeda dengan intensitas hujan alami atau buatan dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC).
"Takutnya yang kecil tadi, ini karena disemprot pada situasi tertentu dengan waktu tertentu, air yang di tempat itu akan naik lagi. Air itu bisa naik lagi karena menguap," ujar Edvin saat dikonfirmasi, Senin (28/8/2023).
Baca juga: Kemenkes: Siram Jalan Tak Efisien Kurangi Polusi dalam Skala Besar
Menurut Edvin, partikel-partikel polutan dikhawatirkan ikut terangkat bersama dengan uap dari air yang sebelumnya disemprotkan ke jalan raya.
Sebab, sudah ada riset yang menyimpulkan bahwa penyiraman jalan justru berpotensi memperparah polusi.
"Saya mengkhawatirkan karena ada catatan yang dari China atau Jepang gitu. Dia kan menyimpulkan begitu karena kalau sekali siram saja enggak efektif," kata Edvin.
Meski begitu, Edvin memandang bahwa penyemprotan air tetap bisa lebih efektif mengurangi polusi. Tetapi harus dilakukan secara massif dengan durasi yang panjang layaknya hujan.
"Itu dilakukan terus menerus jadi kayak hujan," kata Edvin.
Di samping itu, Edvin juga menyampaikan bahwa penyemprotan juga akan lebih efektif ketika dilakukan dari permukaan lebih tinggi, sehingga membuat debu-debu yang beterbangan terbawa turun ke tanah.
"Jadi air yang kita pakai itu akan menjatuhkan debu. Itu makanya saya mengusulkan semacam water curtain atau tirai air," ucapnya.
Untuk diketahui, DKI Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara terburuk nomor kelima di dunia hari ini, Senin (28/8/2023) pagi.
Dikutip dari laman IQAir pukul 06.24 WIB, US Air Quality Index (AQI US) atau indeks kualitas udara di Ibu Kota tercatat di angka 149.
Baca juga: Dianggap Lebih Efektif Kurangi Polusi, Penyiraman Air dari Gedung Tinggi Segera Diuji Coba
Angka ini menunjukkan kualitas udara yang sedikit lebih baik dibanding hari Minggu pagi yang berada di posisi ketiga.
Meski demikian, DKI Jakarta pada Senin pagi ini masih masuk dalam kategori kondisi tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Kondisi ini juga diprediksi bakal terjadi pada 31 Agustus 2023.
Adapun konsentrasi polutan tertinggi dalam udara DKI Jakarta hari ini PM 2.5 dengan nilai 60,8.
Konsentrasi tersebut 11 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).
Sedangkan cuaca di Jakarta pada pagi ini berkabut dengan suhu 24 derajat celsius, kelembapan 89 persen, gerak angin 5,5 km/h, dan tekanan sebesar 1009 milibar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.