JAKARTA, KOMPAS.com - Warga Pondok Labu bernama Tamin (65) mengaku tidak menyangka bisa menjadi seorang marbut.
Padahal, ia sama sekali tidak bercita-cita. Tamin menganggap hal ini merupakan garis kehidupan yang telah ditakdirkan oleh Sang Pencipta.
“Iya, saya juga enggak sangka bisa jadi marbut. Itulah rahasia Allah. Kalau sudah rahasia Allah, apa pun yang terjadi, itulah,” ujar Tamin saat berbincang dengan Kompas.com di Masjid Al Jabr, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, Senin (18/3/2024).
Baca juga: Soal Gaji Marbut Masjid, Tamin: Alhamdulillah, yang Penting Bersyukur
Tamin mengaku sempat berprofesi sebagai kondektur bus milik Perusahaan Umum (Perum) Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD).
Dalam momen-momen tertentu, ia kerap bermain kartu bersama teman-temannya dengan taruhan uang. Alhasil, kegiatan ini menjadi kebiasaan lalu terbawa ke lingkungan lain.
“Waktu saya masih punya anak tiga, bandelnya saya itu bukan bandel yang enggak benar, bukan bandel yang begitu. Saya tuh main gaple, main remi, itu bandelnya,” kata Tamin.
“(Main gaple dan remi itu) asal ada saja yang begadang,” ujar Tamin melanjutkan.
Usai beberapa lama melakoni permainan gaple dan remi, kegiatan itu rupanya membuat Tamin berpikir tentang kematian.
Ayah empat anak itu khawatir tidak ada anggota keluarganya yang melafalkan doa saat Tamin telah tiada.
Dengan begitu, pria dengan pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD) di Pondok Labu ini menyuruh anak pertamanya untuk belajar mengaji.
“Yang saya bilang tadi ke anak pertama, 'belajar ngaji gih. Kalau lu enggak bisa ngaji, kalau Baba mati, yang ngajiin siapa? Ya sudah, ngaji deh, nanti Baba yang anterin'. Ya orang saya main gaple mulu, enggak bisa ngaji,” ungkap Tamin.
Baca juga: Ingat Kematian, Titik Balik Tamin Menemukan Jalan Kebaikan sampai Jadi Marbut Masjid
Selama proses mengantar anak sulungnya yang saat itu masih berusia 10 tahun, sedikit demi sedikit Tamin mulai mendapatkan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Iya (gara-gara ingat mati). Saat nunggu anak saya, saya tertarik saat dengar orang mengaji, 'enak banget orang ngaji ya’, gitu. Padahal enggak bisa mengaji,” kata Tamin.
Alhasil, sekira tahun 1990-an, Tamin mencari guru yang bisa mengajarkannya huruf-huruf hijaiyah. Bersamaan dengan itu, ia juga belajar mengenai akidah Islam oleh guru lain.
“Belajar akidah di Citayam saya. Nah di situ, saya baru sadar di situ. Habis itu memperdalam lagi dan lagi. Tahun 1996, saya mulai mengajar ilmu tauhid,” imbuh Tamin.