JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Kepemiluan Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengkhawatirkan munculnya calon tunggal pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Apalagi, beberapa tahun belakangan, fenomena calon tunggal di pilkada cenderung meningkat.
"Yang lebih menghawatirkan adalah fenomena calon tunggal," ujar Titi dikutip dari Obrolan Newsroom Kompas.com, Selasa (14/5/2024).
Menurut Titi, hadirnya calon kepala daerah independen atau perseorangan sedianya bisa menjadi alternatif di pilkada untuk menghindari fenomena calon tunggal. Namun, belakangan, pencalonan kepala daerah independen pun seakan sepi peminat.
"Ini yang semestinya calon perseorangan tuh jadi pilihan alternatif di tengah pilihan partai politik yang mulai malas mengusung calon dari jalur partai," kata Titi.
Baca juga: Khofifah Mulai Komunikasi dengan PDI-P untuk Maju Pilkada Jatim 2024
Titi berpendapat, minimnya pendaftaran calon kepala daerah jalur independen disebabkan karena beratnya syarat dukungan yang harus dipenuhi calon.
Untuk maju sebagai kepala daerah jalur perseorangan, pasangan calon (paslon) harus mengantongi 6,5-10 persen dukungan pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di wilayah paslon mencalonkan diri.
Titi mengatakan, syarat dukungan bagi calon kepala daerah independen tersebut semakin berat sejak Pilkada Serentak 2015.
"Syaratnya memang jadi jauh lebih berat dari pilkada-pilkada sebelumnya. Karena kalau sebelum itu (Pilkada 2015) masih pakai UU Nomor 12 Tahun 2008, calon perseorangan itu syaratnya (mendapat dukungan warga) antara 3-6,5 persen," ujarnya.
Pada Pilkada Jakarta 2024, misalnya, bakal calon gubernur dan calon wakil gubernur harus mendapatkan 7,5 persen dukungan warga DKI yang tercatat dalam DPT Pemilu 2024.
Jumlah DPT di DKI Jakarta pada Pemilu 2024 sendiri mencapai 8,25 juta jiwa. Dengan demikian, setiap cagub dan cawagub independen harus mendapatkan sedikitnya 618.968 dukungan warga DKI Jakarta.
"Itu sudah diperingan oleh MK (Mahkamah Konstitusi) yang tadinya jumlah penduduk, menjadi jumlah pemilih pada pemilu terakhir, jadi agak lebih sedikit. Tapi kan tetap berat," kata Titi.
Syarat tersebut menjadi semakin berat lantaran bakal calon diwajibkan mengumpulkan bukti dukungan berupa fotokopi KTP warga yang mendukung.
"Fotokopi saja sudah berapa biaya. Misal di DKI 600.000 sekian (dukungan), kan enggak gampang menyambangi satu satu pendukung dan memfotokopi KTP-nya, itu saja mahal," lanjut Titi.
"Verifikasi faktualnya sensus. Jadi syaratnya berat, persentasenya naik, lalu ditambah biaya besar karena syarat administrasi tidak sederhana," tuturnya.