Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Street Art, Satpol PP Hingga Pilkada...

Kompas.com - 22/04/2012, 09:53 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Usaha untuk memperindah ruang publik di kota Jakarta rupanya tidak hanya menjadi pekerjaan rumah Gubernur serta jajarannya saja. Jauh dari kepentingan politik, jauh dari pencitraan publik, para street artist, sapaan akrab mereka, telah melakukan dobrakan dengan menghiasi ruang kota, memenuhi rasa estetis ditengah rigidnya kebijakan.

Apa itu street art? Street art identik dengan seni rupa jalanan, dimana penempatannya wajib bersinggungan dengan khalayak agar pesan-pesannya tersalurkan. Bentuk-bentuk seni yang dipopulerkan di New York tahun 1980an ini diterjemahkan ke dalam banyak jenis, misalnya grafiti, mural, stencil dan sebagainya yang diantaranya memiliki karakter pengerjaan berbeda-beda.

Di Indonesia, secara tidak langsung, street art telah ada sejak dahulu zaman revolusi. Siapa yang tak bangkit rasa nasionalismenya melihat coretan di tembok dengan bertulis, "Merdeka Atau Mati". Hanya saja coretan itu tidak disadari sebagai bentuk seni jalanan. Baru pada awal 1990-an menjadi tahun penting, karena pemuda di Indonesia mulai akrab dengan jenis seni yang satu ini lewat referensi di dunia maya dan komunitas-komunitas.

"Grafiti itu karya atau gambar yang gua tempetkan di ruang publik yang bersebelahan dengan publik dan publik banyak yang melihat. Pesannya, ya tergantung seniman, ada yang tema sosial, ada yang mengangkat isu hangat di masyarakat," ujar Ryan Riadi atau akrab disapa Popo kepada Kompas.com saat ditemui di markasnya di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Sabtu (21/4/2012).

Pria yang telah malang melintang di dunia seni jalanan ini menganggap seni jalanan memiliki andil besar dalam keindahan ruang publik sebuah kota. Ia mencontohkan, kota Jogjakarta merupakan kota yang terbilang sukses dalam pengelolaan seni jalanan di ruang publik. "Street art itu sebenarnya sama seperti rancangan arsitek di ruang kota, fungsinya kaya halte untuk menunggu angkutan umum, terus trotoar sebagai tempat pejalan kaki, bagi kami seniman, ingin memperindah kota dengan artistik kota lewat pembuatan street art," lanjutnya.

Namun sayang, aktifitas para seniman jalanan ini kerap berbenturan dengan persepsi penguasa yang ingin kotanya berwajah bersih dan tertata rapih. Adrenalin meningkat akibat dikejar-kejar Satpol PP pun menjadi pengalaman sehari-hari para street artist tersebut kala melakukan aksinya.

Cagub juga  vandal

Popo, yang juga masih aktif menjadi dosen mata kuliah desain di salah satu intitut swasta tersebut mengatakan, pada sejarahnya, street art, entah itu dalam bentuk grafiti maupun mural memang memiliki filosofi pemberontakan dari kemapanan sebuah persepsi, khususnya bagi persepsi masyarakat banyak yang menganggap seluruh seni adalah teratur. Semisal seni lukis, seni pahat dan sebagainya. Maka tak heran, para street artist kerap dicap vandal.

"kalau vandal itu tidak harus grafiti, merusak tanpa ada tanggung jawab, misalnya nulis nama geng, sekolah yang maksudnya nggak begitu penting, itu namanya vandal. Pemerintah nggak bisa bedain yang mana seni yang mana vandal, karena mereka nggak terlalu melek sama seni kontemporer, mereka hanya mengenal seni konvensional," lanjutnya.

Ia pun mengkritik para pemimpin maupun calon pemimpin Jakarta yang juga tak memperhatikan estetika keindahan Jakarta, kota yang akan dipimpinnya lima tahun mendatang. Ia mencontohkan berbagai atribut spanduk, baliho, bendera dan peralatan pencitraan lainnya, menghiasi berbagai ruang publik seperti halte, pohon jalan, jembatan dan sebagainya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com