Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjahit Jatinegara, Dari Reformasi Sampai Demokrasi

Kompas.com - 06/10/2012, 16:42 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Waktu menunjukan pukul 06.00 WIB pagi. Suasana bising mulai merajai Stasiun Jatinegara, Jakarta Timur, pertanda para pekerja ibukota mulai menujukan geliatnya. Di salah satu sudut peron, tempat belasan orang berlindung dari dinginnya malam, Juprizal Syamsudin duduk menikmati suara-suara yang tak lagi mengganggunya.

Pria 54 tahun yang akrab disapa Buyung itu sedikit lebih santai. Sebelum mandi, ia berabincang-bincang dengan sesama penghuni stasiun dan menyeruput segelas kopi hitam sebagai pembuka aktivitas sambil menyiapkan peralatan dan lapak profesinya.

"Saya jadi tukang jahit pinggir jalan gini dari tahun 1990. Sejak bujangan sampai sekarang sudah punya cucu satu. Dari zaman reformasi sampai demokrasi," ujar Buyung saat ditemui Kompas.com di lapak seberang Stasiun Jatinegara, Jumat (5/10/2012) siang.

Pergantian rezim di Indonesia memang dirasakan Buyung dan belasan rekan seprofesinya. Dahulu, ketika otoriter berkuasa, dengan mudah kita berjumpa orang-orang seprofesi Buyung di seberang Stasiun Jatinegara. Bermodal mesin jahit merek 'Butterfly' seharga kurang dari Rp 50 ribu dan benang berbagai warna yang terlihat kusam, puluhan penjahit bersaing satu sama lain demi mengadu nasib.

Namun satu per satu usaha penjahit di kawasan itu mati dan tak terganti. Sebagian pindah ke pekerjaan lain, sebagian yang berumur senja pensiun sambil khawatir bagaimana nasib keluarganya kelak. Namun, tak ada banyak pilihan bagi Buyung dan belasan penjahit yang memilih bertahan. Mereka tetap memilih menjahit daripada mencari rejeki tak halal.

"Yang penting halal. Meski sehari nggak tentu dapatnya berapa, kadang Rp 50 ribu, pernah juga Rp 100 ribu. Lebih baik kerja begini, daripada nipu," lanjut Buyung.

Boleh dikata, perjalanan hidup pria keturunan Ambon dan Bugis tersebut, sama berkaratnya dengan mesin jahit yang digunakan untuk bertahan hidup. Delapan tahun lalu, di tengah usahanya meningkatkan taraf ekonomi keluarga, sang istri mengkhianati hatinya. Wanita yang dinikahi Buyung itu ketahuan menjajakan tubuhnya ke pria lain. Tanpa melalui proses hukum, keduanya berpisah.

Sang istri tinggal di rumah orang tuanya beserta dua anaknya, sementara Buyung, "berkarat" di Peron stasiun seorang diri, ditempa panas dan hujan. Sesekali, kedua anaknya datang menengok sang ayah. "Anak saya yang tertua sudah nikah, dapat satu anak. Satu lagi masih umur 6 tahun. Kadang yang tua datang saya kasih duit Rp 20 ribu, nggak mau. Mintanya Rp 50 ribu. Susah memang kalau sama pengamen. Dia kan suka ngamen tuh. Saya suruh kerja nggak mau," ujarnya.

Ketika ditanya sampai kapan ia akan menopang hidupnya dengan menjahit, Buyung mengaku tak tahu pasti. Seiring pergantian pemimpin di Indonesia, Buyung seakan memupuk harapan, meski kadang tak sesuai kenyataan. Ia hanya berharap, mesinnya terus berputar, jarumnya terus bisa menusuk dan benangnya terus terurai.

"Ya sampai akhir hayat kali. Kan pemimpin pasti dengar rakyatnya, sekarang kan sudah zaman demokrasi. Yang penting kami tetap bisa bekerja di sini aja," ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com