Karena itulah, lanjutnya, butuh suatu "penjajakan" yang serius sebelum dimulainya penandatangan perjanjian kerjasama (PKS).
"Bahkan kerjasamanya nanti akan lebih lama dari rata-rata masa perkawinan orang Indonesia saat ini. Karena mau kawin dalam waktu 50 tahun inilah, makanya penjajakannya membutuhkan waktu yang lama," kata Lukas dalam acara Kompasiana Nangkring bareng PT JM, di Kuningan City, Jakarta, Sabtu (24/5/2014).
Menurut Lukas, sejauh ini pembicaraan antara Pemprov DKI dan PT JM masih berkutat pada hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam proyek tersebut. Ia menjelaskan, biasanya dalam suatu proyek pembangunan infrastruktur, antara pemerintah selaku pemegang kebijakan, dan pihak swasta selaku investor telah ada hak dan kewajibannya masing-masing yang seimbang.
"Secara filosofis, karena pemerintah membutuhkan infrastruktur, maka haknya mendapatkan pembangunan infrastruktur dari pihak swasta. Tapi pemerintah wajib menyiapkan apa saja yang dibutuhkan pihak swasta. Pihak swasta wajib melakukan investasi penyediaan infrastruktur. Konsekuensinya mereka berhak mendapatkan keuntungan," jelasnya.
"Dalam proyek monorel Jakarta ini, Pemprov DKI harus menyediakan lahan-lahan yang dibutuhkan oleh PT Jakarta Monorail," katanya lagi.
Menurut Lukas, di kebanyakan proyek kereta perkotaan, biasanya pemerintah akan menjamin nilai komersial. Misalnya, kata dia, apabila nilai proyeknya bernilai 10, namun pendapatan dari tiket penumpang hanya 5, maka 5-nya itu harus dijamin pemerintah.
"Tapi dalam proyek monorel Jakarta hal ini tidak dilakukan. Pemerintah tidak memberikan jaminan pada keuntungan tiket. Tapi PT JM harus mencari cara untuk mencari keuntungan lewat cara yang lain," tukasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.