"Kasus UPS ini hampir mirip modusnya dengan begal motor," ujar Peneliti Bidang Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW, Febri Diansyah, di Jakarta Pusat, Senin (23/3/2015).
Awalnya, kata Febri, seseorang pembegal terkena candu akibat obat-obatan. Lama-kelamaan ia jadi berutang. Untuk menutupi utang, ia terpaksa membegal.
"Begitu juga di DPRD DKI. Kami menduga karena mereka (DPRD DKI) biasa menyusupi anggaran UPS tahun 2014, mendadak tidak bisa di tahun 2015. Bayangkan saja Rp 300 miliar, bisa untung setengahnya enak kan," terangnya.
Kesamaan yang kedua, menurut Febri, pelaku begal tergolong sosok yang sadis. Saat terdesak, pembegal tak segan-segan untuk membunuh korbannya. "DPRD DKI juga begitu. Begitu ketahuan ada yang membocorkan (kasus UPS), terjadilah pembunuhan. Ya, hak angket itu," sindir Febri.
"Hampir sama dengan pembegal, ada penadah. APBD setelah membuat mata alokasi anggaran, itu ada penadahnya. Mereka siap jadi pemasok barangnya," ujar Febri.
Untuk diketahui, kasus ini tengah diselidiki oleh Bareskrim Mabes Polri guna menindaklanjuti temuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) DKI Jakarta. Berdasarkan laporan BPKP DKI, ditemukan indikasi korupsi senilai Rp 300 miliar dari pengadaan UPS di 49 sekolah Jakarta Barat dan Jakarta Pusat. Akibatnya, negara dirugikan hingga Rp 50 miliar.