KOMPAS.com – Ada yang berbeda dengan perayaan Idul Adha di Kampung Gombonglegak, Sukawangi, Sukamakmur, Bogor. Untuk pertama kalinya warga kampung di bawah bukit terpencil itu melihat hewan kurban.
Tahun lalu, masing-masing warga di kampung-kampung kecil Desa Sukawangi memang berkesempatan mencicipi sekantong daging kurban. Sebelumnya, tak pernah ada warga yang mampu berkurban di sini. Maklum, kebanyakan warga adalah kaum duafa.
Tak hanya itu. Karena terletak di antara bukit-bukit, akses menuju desa sulit dilalui kendaraan biasa. Fasilitas kendaraan umum pun minim.
"Anak-anak di sini kalau mau berangkat sekolah harus jalan kaki sekitar 10 kilometer," ucap Jejen, Ketua RT Kampung Gombonglegak.
Karena alasan itu, distribusi hewan kurban belum pernah bisa menjamah daerah ini. Wajar, sorak warga menggema menyambut kedatangan satu sapi jenis limosin berbobot setengah ton dan seekor domba.
"Sebelum terjun ke lokasi, tim panitia harus mencari jalan alternatif melalui bukit, lembah, hutan, dan jalanan berbatu dengan motor adventure. Baru akhirnya bisa sampai di lokasi," tutur Ade Aghaz, pengurus Komunitas Offroad Indonesia Ride Adventure yang merupakan salah satu panitia distribusi kurban.
Tak merata
Saat ini distribusi kurban memang belum merata hingga ke pelosok daerah. Banyak kantong-kantong kemiskinan justru tidak mendapat jatah kurban. Kebanyakan hewan kurban masih tersentralisasi di daerah perkotaan. (Baca: Ketika Daging Kurban Hanya Menumpuk di Perkotaan...).
"Praktik yang terjadi adalah pendekatan distribusi klasikal sehingga cenderung tidak merata. Padahal dalam penyaluran hewan kurban juga terkait dengan peta kemiskinan yang terus berubah secara geografis di Indonesia. Seperti daerah pedalaman, padat penduduk, kumuh, dan kantong-kantong kemiskinan," ujar Nanang Q El-Ghazal, Direktur Lazismu.
Secara nasional, pada 2014, BPS mencatat ada sebanyak 27,73 juta penduduk miskin di Indonesia. Angka ini mencapai 10,96 persen dari jumlah total penduduk. Sementara itu, jumlah partisipasi kurban di Indonesia saat ini, menurut Forum Zakat, tak lebih dari 10 juta orang saja.
Didasari pemikiran tersebut, lembaga filantropi Lazismu merancang program "Kurban Pak Kumis", sebuah program penghimpunan dan penyaluran kurban. Fokus program ini adalah membantu mendistribusikan hewan kurban kepada kaum duafa yang tinggal di daerah sulit dijangkau. Nama Pak Kumis, menurut Nanang, sengaja dipilih agar lebih mudah diingat masyarakat.
Partisipasi komunitas
Dalam pelaksanaannya, Kurban Pak Kumis memang melibatkan beragam komunitas untuk turun ke daerah-daerah pelosok sebagai relawan. Mereka biasanya berasal dari komunitas pelajar, mahasiswa, pemuda, komunitas hobi, profesional, bahkan kelompok pengajian.
Namun begitu, komunitas yang ingin berpartisipasi harus mengikuti tahapan seleksi terbuka. Komunitas yang ingin mengikuti program juga harus menyerahkan proposal.
Di dalam proposal itu harus dijelaskan secara lengkap tentang profil komunitas, anggota, keadaan demografis, dan geografis dari lokasi yang jadi sasaran mereka, jumlah penerima kurban, juga rancangan pelaksanaan program.
Nanang berharap, tahun ini, Kurban Pak Kumis bisa kembali menyelenggarakan kurban bersama ke pelosok-pelosok negeri.
"Tahun ini, kurban serempak akan dilaksanakan di 500 musala bersama 500 komunitas atau sekitar 10 ribu relawan," ujar Nanang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.