ALI Hasan (70) baru saja selesai shalat di mushala yang dikelolanya sendiri di Kelurahan Semanan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, akhir Mei lalu. Masih mengenakan sarung, lelaki usia lanjut ini duduk santai di atas tikar di rumahnya yang berada tepat di bawah lantai mushala itu.
”Sebelum ashar, saya sudah balik ke rumah. Enggak narik eretan lagi,” ujar Ali.
Eretan yang dimaksud Ali adalah perahu sederhana di Sungai Mookervaart untuk menyeberangkan warga dari permukiman ke tepi Jalan Daan Mogot atau sebaliknya.
Sebuah tali tambang yang kuat dipasang melintang melintasi sungai dan dikaitkan dengan sebuah perahu dari kayu. Untuk menyeberang, si empunya perahu menarik tambang sekuat tenaga agar perahu eretan bergerak sembari membawa penumpang.
Eretan bisa dijumpai di beberapa titik Mookervaart , terutama di tempat yang agak jauh dari jembatan. Keberadaannya memudahkan pejalan kaki untuk menyeberangi sungai.
Sama halnya dengan Duman. ”Awalnya ketika merantau ke Jakarta, tahun 1978 dan 1979, saya juga menarik eretan di Jelambar, Jakarta Barat. Karena ada pembongkaran di tempat itu, sekitar tahun1980, saya pindah ke Tanjung Duren. Tahun 1982, saya pindah ke sini (Mookervaart). Namun baru setahun terakhir sejak kali sudah bersih, baru bisa menarik eretan,” kata Duman, yang sebelum kembali buka usahajasa transportasi penyeberangan ini bekerja sebagai kuli bangunan.
Setiap hari minimal keuntungan bersih yang diraup Ali, Duman, dan pelaku usaha jasa transportasi penyeberangan ini mencapai Rp 50.000 sampai Rp 100.000.Terlepas dari semua itu, kehadiran eretan di kali setidaknya memberi denyut ada interaksi sosial.
Untuk jasa menyeberangkan ini, orang dewasa dikenai tarif Rp 2.000 dan Rp 500 untuk anak sekolah.
Saat Ali istirahat, pengoperasian eretan miliknya diambil alih warga sekitar, tetangga, anak tetangga, atau siapa saja yang mau menariknya. Tidak ada anak atau cucunya yang mau meneruskan usaha Ali itu.
”Bapak tidak menarik setoran dari warga yang menggantikannya. Namun, warga dengan sukarela memberikan separuh dari pendapatan narik eretan sebagai sumbangan pemeliharaan dan perawatan mushala,” ujar Leli (45), menantu Ali.
Duman (51) juga membuka usaha layanan transportasi penyeberangan bagi warga Pesing Koneng ke Jalan Daan Mogot, Kelurahan Kedaung Angke.
”Sekitar pukul 05.00, saya sudah mulai narik eretan. Terakhir, hanya sampai pukul 19.00,” kata Duman yang dibantu seorang anggota keluarganya.
Anak-anak sekolah atau pekerja kantor ramai menumpang eretan pada pukul 06.00 hingga 07.30. Siang hari, anak sekolah pulang ke rumah dengan eretan. Sorenya, barulah pekerja kantor yang memakai jasa eretan. Duman bisa membawa pulang Rp 50.000-Rp 100.000 per hari dari jasa eretan ini.
Paramitha (31), warga Pesing Koneng yang pulang bersama anaknya, Nindia (6), adalah pelanggan eretan.
”Kalau mau ke seberang, harus jalan kaki jauh. Putar ke jembatan dulu baru sampai. Butuh waktu 15 menit jalan kaki. Kalau naik perahu cuma sebentar. Paling semenit sudah bisa sampai di seberang,” kata Paramitha.