Dalam salinan Keputusan Gubernur Nomor 28 Tahun 1999 yang diterima Kompas.com, Bab IV Pasal 4 menyebutkan penetapan nama jalan didasarkan pada prinsip:
1. Mudah dikenali masyarakat,
2. Menggunakan nama daerah atau lingkungan setempat yang sudah dikenal masyarakat,
3. Penggunaan nama pahlawan dipertimbangkan sesuai sifat kepahlawanannya,
4. Tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum,
5. Tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut,
6. Tidak bersifat promosi atau reklame,
7. Harus disesuaikan dengan kepentingan, sifat, dan fungsi jalan, taman, dan bangunan umum yang bersangkutan,
8. Menggunakan nama jalan, taman, dan bangunan umum yang sejenis dalam kompleks atau lingkungan tertentu,
9. Cabang satu jalan harus menggunakan nama jalan tersebut dengan angka romawi, dengan urutan kecil adalah yang paling dekat Monas dan atau jalan arteri/kolektor/lokal yang terbesar,
10. Khusus untuk lingkungan yang sudah teratur dan tertib serta sudah mempunyai nama jalan, maka penetapan nama jalan tersebut didasarkan pada kondisi nyata di lapangan.
Mekanisme penetapan nama jalan
Poin tidak mengubah atau mengganti nama yang sudah tertanam di hati masyarakat dan mempunyai nilai sejarah bagi tempat tersebut, kembali ditekankan di Pasal 7. Pada pasal tersebut, juga disebut nama yang ditetapkan tidak menyinggung perasaan salah satu golongan, agama atau kepercayaan.
Menurut Anies, penetapan nama jalan perlu melibatkan unsur masyarakat, sejarawan, budayawan, dan semua yang berkepentingan. Oleh karena itu, ia ingin merevisi Keputusan Gubernur yang ditandatangani Sutiyoso itu.
Dalam aturan tersebut, penetapan nama jalan dinilai dan dipertimbangkan Badan Pertimbangan yang terdiri dari unsur eksekutif dan legislatif.
Pada Pasal 6 menyebut Badan Pertimbangan menetapkan prosedurnya berdasarkan program per wilayah kecamatan dengan prinsip mudah dikenal masyarakat.
Hasil penilaian dari Badan Pertimbangan akan disampaikan ke Gubernur untuk kemudian ditetapkan.
Adapun keinginan merevisi Keputusan Gubernur ini muncul setelah ada permintaan dari keluarga Jenderal Besar AH Nasution mengganti nama Jalan Mampang Prapatan dari perempatan Kuningan sampai Jalan Warung Buncit Raya (Warung Jati Barat) di persimpangan Jalan TB Simatupang.
Namun, usulan ini ditentang sebagian pihak seperti Sejarawan JJ Rizal dan Komunitas Betawi Kita melalui petisi.
Nama Mampang dan Warung Buncit dianggap sebagai memori kolektif warga Betawi dan Jakarta.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/02/16570201/begini-prinsip-dan-mekanisme-penetapan-nama-jalan-di-jakarta