Dwi mengatakan, Dinas KUMKMP DKI mengambil pungutan kepada para pedagang.
Hal itulah yang menyebabkan instansinya mengambil keputusan sepihak untuk memperbolehkan pembangunan Mapolres Jakarta Pusat pada Maret 2018.
Padahal, PKS antara PPKK dan Dinas KUMKMP DKI baru berakhir pada Juni 2019.
"Tanah itu diberikan gratis dipinjamkan pemerintah pusat, gratis, tidak boleh ada pungutan-pungutan di atas itu. Kalau ada pungutan, nanti ditanya auditor hasil pungutan itu," ujar Dwi kepada Kompas.com, Selasa (13/2/2018).
"Kalau dikatakan (pungutan) itu sebagai iuran dan retribusi bagaimana pengelolaannya, uangnya kemana saja, dan pelaksanaan betul tidak," tambahnya.
Ia mengatakan, apabila lahan tersebut dikomersilkan, maka harus ada kompensasi untuk pemerintah.
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang akan menanyakan pengelolaan pungutan atau komersialisasi di lahan tersebut.
Di sisi lain, Dwi menyebut rencana pembangunan Mapolres Jakarta Pusat di sana telah direncanakan sejak lama, bahkan sebelum Dinas KUMKMP DKI meminjam lahan tersebut untuk Lenggang Kemayoran.
Pihaknya juga mengikutsertakan Dinas KUMKMP DKI untuk membahas pembangunan Mapolres Jakarta Pusat.
"Utamanya adalah (lahan) itu untuk kepentingan Polri. Kami sudah melalui beberapa tahapan, beberapa kali pertemuan dan pernah dihadiri beliau (Kepala Dinas KUMKMP DKI Irwandi), wakil, staf semuanya sudah kami sampaikan," ujarnya.
"Jadi, anda mengerti dong kenapa kami bicara pada tahun itu juga. Kalau ada yang tidak sesuai perjanjian, kan, kami berhak melakukan pemutusan," tambah Dwi.
Secara terpisah, Irwandi mengakui ada pungutan retribusi kepada para pedagang.
"Retibusinya Rp 3.000 (per hari)," ujar Irwandi.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/02/14/00080561/dirut-ppk-kemayoran-sebut-dinas-kumkmp-dki-langgar-perjanjian-kerja-sama