"Premanisme itu enggak bisa hilang karena arti kata preman itu dari free man, orang bebas. Artinya, kalau kita bisa lihat, siapa sih bahan bakunya, ya orang yang enggak punya kerja. Kemudian, dia mau dengan mudah mendapatkan penghasilan," ujar Rissalwan saat dihubungi Kompas.com, Selasa (28/8/2018).
Oleh karena itu, Rissalwan menyebut pemerintah harus mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih banyak. Banyaknya lapangan pekerjaan diharapkan mampu menekan angka premanisme.
"Premanisme enggak mungkin hilang, tapi mungkin kita bisa kurangi. Artinya, pemerintah membuka lapangan kerja yang lebih luas," kata dia.
Di sisi lain, Rissalwan menyebut pembukaan lapangan kerja dan pemberian pelatihan bisa jadi masih sulit mengurangi aksi premanisme, mengingat kebanyakan preman ingin mendapatkan uang dengan cara mudah.
Aksi premanisme, lanjut Rissalwan, juga membuat para pelakunya bangga karena bisa membuat orang lain yang dipalaknya takut. Ini menjadi PR bagi pemerintah.
Rissalwan menyanpaikan, cara lain yang bisa dilakukan pemerintah salah satunya yakni menerapkan sistem pembayaran retribusi bagi para pedagang secara non-tunai atau cashless.
Cara ini juga diharapkan mampu mengantisipasi aksi premanisme karena tidak ada lagi petugas yang berkeliling menagih uang retribusi.
"Premanisme itu kan sebetulnya dia ngutip, dia memaksa pedagang untuk bayar. Solusinya itu bisa dilakukan dengan cara misalnya dikurangi transaksi cash," ucap Rissalwan.
Beberapa waktu belakangan marak terjadi kasus premanisme maupun pemerasan di beberapa kawasan di Jakarta.
Dalam sepekan ini saja, terungkap aksi premanisme di kawasan Cengkareng, Tanah Abang, dan Kali Besar. Hal ini membuat masyarakat resah.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/08/28/19392651/pengamat-aksi-premanisme-terjadi-karena-orang-tak-punya-pekerjaan