Dalam sepekan ini saja, terungkap aksi premanisme di kawasan Cengkareng, Tanah Abang, dan Kali Besar. Hal ini membuat masyarakat resah.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia Rissalwan Habdy Lubis mengatakan, aksi premanisme marak terjadi karena adanya orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan.
Mereka kemudian ingin mendapatkan uang dengan mudah.
"Premanisme itu enggak bisa hilang karena arti kata preman itu dari free man, orang bebas. Artinya, kalau kita bisa lihat, siapa sih bahan bakunya, ya orang yang enggak punya kerja. Kemudian, dia mau dengan mudah mendapatkan penghasilan," ujar Rissalwan, Selasa (28/8/2018).
Modus berubah
Rissalwan menyampaikan modus-modus aksi premanisme kini mulai berubah.
Dahulu, preman-preman biasanya memiliki tato, bergaya seperti anak punk, dan lainnya. Kini banyak preman yang justru berkedok petugas keamanan.
Rissalwan melihat modus baru aksi premanisme itulah yang terjadi dalam kasus pemerasan di kompleks Ruko Seribu Cengkareng, Jakarta Barat, baru-baru ini.
"Tempat-tempat premanisme ini sekarang memang modusnya sudah mulai berubah dari preman yang sifatnya bertato misalnya, terus gaya-gaya punk. Sekarang justru mereka lebih mendekat ke yang berseragam," kata dia.
Selain itu, sasaran para preman itu juga mulai bergeser. Tak hanya para pedagang pasar, orang-orang kelas menengah ke atas juga menjadi sasaran mereka.
"Kelihatannya memang targetnya tidak lagi yang receh-receh yang dikumpulin preman sekarang ini. Kalau melihat kasus Cengkareng, satu orang bisa dikenakan Rp 10 juta-Rp 20 juta," ucap Rissalwan.
Peran pemerintah kurang
Meskipun aksi premanisme marak terjadi, banyak warga yang tidak berani melapor.
Menurut Rissalwan, warga yang menjadi korban aksi premanisme takut melapor karena kurangnya peran aparat di lingkungan mereka.
Para pelaku premanisme, lanjut dia, justru lebih dekat dan sering memalak warga.
Jika warga melapor, para preman akan mengetahuinya dan melakukan tindakan tidak diinginkan.
Dibandingkan mengimbau masyarakat untuk tidak takut melaporkan aksi premanisme, Rissalwan menyebut lebih baik mengingatkan aparat berwenang untuk lebih dekat dengan masyarakat.
Dengan demikian, masyarakat akan merasa aman dan berani melaporkan aksi-aksi premanisme.
Menurut Rissalwan, saat ini kebanyakan warga menggantungkan rasa aman pada uang keamanan. Mereka "rela" membayar uang keamanan kepada preman, asal tak diganggu.
"Peran aparat sangat kurang kalau menurut saya karena rasa aman tadi sudah tergantikan dengan uang keamanan. Harusnya rasa aman itu tidak dibayar," kata Rissalwan.
"Tapi ketika dia udah merasa enggak aman, kalau dia ngadu, berarti dia mencari masalah, lebih baik ya sudah, bayar saja, dikompensasilah dengan uang keamanan tadi kepada orang yang enggak jelas," tambah dia.
Solusi
Rissalwan menyampaikan, aparat berwenang harus cepat menegakkan hukum mengingat maraknya aksi premanisme.
Selain itu, pemerintah juga harus mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan. Banyaknya lapangan pekerjaan diharapkan mampu menekan angka premanisme.
"Premanisme enggak mungkin hilang, tetapi mungkin kita bisa kurangi. Artinya, pemerintah membuka lapangan kerja yang lebih luas," katanya.
Cara lain yang bisa dilakukan pemerintah salah satunya yakni menerapkan sistem pembayaran retribusi bagi para pedagang secara non-tunai atau cashless.
Cara ini juga diharapkan mampu mengantisipasi aksi premanisme karena tidak ada lagi petugas yang berkeliling menagih uang retribusi.
"Premanisme itu kan sebetulnya dia ngutip, dia memaksa pedagang untuk bayar. Solusinya itu bisa dilakukan dengan cara misalnya dikurangi transaksi cash," ucap Rissalwan.
Kata Pemprov DKI
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Yani Wahyu mengatakan, pihaknya bakal menambah personel di titik-titik rawan pungutan liar seperti Tanah Abang dan Kali Besar.
"Iya (tambah petugas), kami akan evaluasi di lapangan. Selanjutnya berdasarkan evaluasi, data-data yang masuk, kami akan ambil kebijakan apa lagi," kata Yani.
Selain itu, Yani juga bakal mengerahkan anak buahnya melakukan razia bersama kepolisian dan TNI di lokasi yang dilaporkan ada pungli.
Yani mengaku tak segan mengambil tindakan jika ia atau anggotanya di lapangan menemui aksi pungli.
Terkait pungli di Kali Besar, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Asiantoro mengatakan, foto prewedding tidak dipungut biaya apa pun.
"Menurut Perda Nomor 1 Tahun 2015, prewedding untuk pribadi tidak dikenakan retribusi," ujar Asiantoro.
https://megapolitan.kompas.com/read/2018/08/29/08160971/aksi-premanisme-yang-berlanjut-dan-kurangnya-peran-pemerintah