Rumah kontrakan sederhana ini ditempati oleh Fauzan Akmal Maulana, anak berumur 15 tahun penderita otot lemah atau DMP.
Pintu depan rumah Fauzan sedikit terbuka sehingga tampak Fauzan yang sedang berbaring mengarah ke kanan dengan alas karpet seadanya.
Rupanya dia tengah menonton serial kartun kenamaan Spongebob seraya menghabiskan waktu di sore hari.
"Masuk Mas, masuk," ujar Winih Utami (49), ibunda Fauzan, seraya menyambut.
Beberapa waktu sebelumnya, nama Fauzan sudah ramai di sejumlah media mainstream karena foto Winih yang menggendong putranya itu pulang sekolah karena tidak bisa berjalan.
Awal mula
Winih menceritakan, semua berawal dari satu malam pada 2015 ketika Fauzan duduk di bangku kelas V SD.
Secara tiba-tiba, kedua kaki mungilnya tidak bisa digunakan saat bangun tidur.
"Pas bangun tidur dia bilang, 'Mama aku enggak bisa berdiri'. Saya kaget langsung saya berdiriin, ternyata memang enggak bisa diberdiriin," kata Winih.
Perasaan panik dan takut bercampur di dalam benak Winih. Perasaan itu juga yang menghantui Winih saat membawa anak bungsunya ini ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.
Setelah beberapa saat diperiksa dokter, keluarlah hasil pemeriksaan yang menyatakan Fauzan menderita lemah otot.
Siapa sangka, hari itu menjadi hari pertama Fauzan tidak bisa menggunakan kedua kakinya dengan sempurna seperti hari-hari sebelumnya.
"Tidak ada obatnya, iya tidak ada obatnya. Dokter hanya menganjurkan terapi," ucapnya sambil duduk di sebelah baringan Fauzan.
Bocah pencinta sepak bola ini seakan tidak percaya dengan apa yang menimpanya. Nampaknya tidak terbayang jika dirinya tidak lagi bisa bermain olahraga favoritnya itu.
Ungkapan ini yang dikatakan Fauzan kepada ibundanya seusai divonis menderita penyakit lemah otot.
"Kapan Ma aku bisa jalan lagi? Aku pengin sembuh, aku pengin main bola," ucapnya sembari melihat Fauzan terbaring di depannya.
Dengan nada tenang menahan sedih, saat itu Winih berkata kepada Fauzan untuk terus berdoa.
"Fauzan harus rajin shalat, harus minta sama Allah, pasti suatu saat Fauzan bisa jalan lagi," katanya.
Tetap sekolah
Keterbatasan fisik yang dialami Fauzan tidak menutup semangatnya untuk terus menimba ilmu.
Dia tetap bertekad menyelsaikan Sekolah Dasar hingga lanjut ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Dia tetap mau sekolah. Memang semangatnya untuk sekolah besar banget. Kalau enggak masuk sekolah dia bisa nangis," tuturnya.
Dengan modal semangatnya, dia sukses menyelesaikan Sekolah Dasar.
Sejak Fauzan divonis lemah otot, kedua tangan Winih memiliki tugas baru, yakni menggendong si bungsu ke mana pun, termasuk ke sekolah.
Terkadang ada rasa lelah yang dirasakan Winih selama menggendong Fauzan ke sekolah.
Namun rasa lelah itu terbayar dengan semangat Fauzan untuk terus belajar.
Bahkan suatu ketika, Winih pernah terjatuh saat menggendong Fauzan. Saat itu, Fauzan masih duduk di bangku SD kelas 6 dan Winih berniat menjemputnya di sekolah.
Namun di sisi lain, fisiknya sungguh kelelahan lantaran harus menjaga sang suami yang sakit keras.
Sehingga dalam perjalanan menuju rumah dengan Fauzan di tangannya, mereka berdua terjatuh.
"Pas pulang pendalaman materi saya jatuh pas gendong dia, enggak tahu tiba-tiba jatuh tersungkur," katanya sambil sedikit tertawa.
Untungnya tidak ada luka serius yang dia dan Fauzan alami saat itu.
Winih mengaku banyak yang dia rasakan selama menggendong anaknya bersekolah dan beraktivitas. Semua itu dilakukan atas dasar kasih sayangnya kepada sang putra.
"Kalau seandainya kaki saya bisa gantikan kaki Fauzan, saya tukar," ucapnya.
Perjuangan cari sekolah
Lanjut ke jenjang pendidikan SMP menjadi kesulitan baru bagi Winih. Tidak semua sekolah mau menerima kondisi fisik Fauzan.
Bahkan Winih sempat berniat menyekolahkan anaknya itu ke beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta. Namun, pihak SLB menolak mentah-mentah keinginan Winih.
"Saya pernah mau daftarin ke SLB, malah ditolak dari SLB. Mereka bilang Fauzan itu normal, enggak pantas sekolah di sini," jelasnya.
Atas dasar itu, Winih bersikeras menyekolahkan anaknya ke SMP umum inklusif, sekolah umum yang menerima siswa berkebutuhan khusus.
Segala cara telah dia tempuh, bahkan sampai menelepon ke Dinas Pendidikan setempat.
"Sampai saya ke Dinas telepon mau tanya mana sih sekolah inklusif untuk kebutuhan khusus, karena anak saya normal cuma fisiknya saja yang enggak normal. Harusnya diterima ya di sekolah umum," terangnya.
Pihak Dinas pendidikan memberikan beberapa rekomendasi sekolah kepada Winih.
Seakan diberi secercah harapan, Winih pun mendatangi beberapa sekolah yang direkomendasikan itu. Namun, nyatanya semua tidak berjalan sesuai harapan.
"Setelah saya datangi, mereka bilang 'Oh enggak Bu, di sini belum bisa terima anak Ibu'. Tapi kan di Dinas sekolah yang saya datangi itu terdaftar sebagai sekolah Inklusif. Ternyata mereka belum menyelenggarakan (program sekolah inklusif)," kata dia.
Sampai akhirnya saat memasuki tahun ajaran baru, kerabat Winih memberi tahu keberadaan SMP 1 Terbuka Tangerang Selatan, tempat Fauzan sekolah sekarang.
"Katanya di sekolah itu mau terima. Saya lalu daftarkan Fauzan ke sana dan tetap ada tes-tes tertentu sampai akhirnya Fauzan bisa masuk sekolah itu," jelasnya.
Winih merasa beruntung bisa menyekolahkan Fauzan di SMP 1 Terbuka Tangerang Selatan.
Dia merasakan kebahagiaan yang dirasakan anaknya saat bersekolah di sana.
Fauzan tidak merasa minder. Banyak yang mau berteman dengannya dan semua akrab dengan Fauzan.
Hal itu menjadikan sekolah ini layaknya rumah kedua bagi bocah pecinta pelajaran Bahasa Inggris tersebut. Hampir setiap hari dia masuk ke sekolah.
Teman-teman sebangku Fauzan pun kerap membantu Fauzan ketika belajar di kelas.
Sistem tempat duduk yang diputar pun membuat Fauzan akrab dengan semua teman satu kelasnya.
"Ya jadi siapapun yang jadi teman sebangku Fauzan pasti mau bantuin Fauzan. Ada yang keluarin bukunya Fauzan, ambilin pulpen buat Fauzan. Kalau Fauzan haus ada yang kasih minum Fauzan," terangnya.
Jika ingin jajan pun, beberapa teman Fauzan ada yang mau membelikan makanan ringan untuknya.
"Saya merasa aman Fauzan sekolah di sini. Di sini dia diterima dengan baik, dan perlakuan guru sama teman-temannya juga baik," tambahnya.
Harapan
Ujian Nasional SMP akan digelar 22 April mendatang. Hal tersebut menjadi momok menggembirakan bagi Fauzan karena akan menyelesaikan masa SMP.
Namun sekaligus menjadi momok menakutkan bagi Winih, karena tidak terbayang baginya harus mencari Sekolah Menengah Atas (SMA) yang mau menerima kondisi Fauzan.
Susahnya sama seperti dahulu saat mencari SMP untuk Fauzan. Dia bahkan belum ada gambaran ke sekolah mana anak bungsunya ini akan berlabuh.
"Enggak tahu harus di mana sekolahnya," ucapnya.
Nampaknya tubuhnya yang sudah menua tidak kuat lagi pergi ke sana ke mari hanya untuk mencari sekolah untuk Fauzan.
Dia hanya berharap kepada kuasa Tuhan untuk mengirimkan seseorang yang mau membantu Fauzan kembali bersekolah, kembali mengenyam bangku pendidikan, kembali bergaul dengan teman sebayanya, dan berusaha menggapai cita-citanya.
"Insya Allah ada yang mau membantu, ada yang mau mengarahkan ke mana si Fauzan nanti sekolah," tutupnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/03/21/07460811/berawal-dari-malam-itu-saat-fauzan-tiba-tiba-tak-bisa-berdiri