JAKARTA, KOMPAS.com – Alfian (23) terlihat lelah dan kepanasan setelah satu jam lebih mengipasi tungku api di depannya untuk membakar kerak telor. Lebih dari lima pembeli berdiri melingkari keranjang pikulnya, menanti pesanan kerak telor masing-masing terhidang.
Pesanan kerak telor bebek yang dibanderol Rp 25.000 jadi primadona pada sore itu mengalahkan pesanan kerak telor ayam yang harganya lebih murah Rp 5.000.
“Mas Poy, habis ini barter, dong,” seru Alfian pada Mas Poy alias Rifadli (45) sambil menyeka keringat untuk bergantian tugas membakar kerak telor.
Satu keranjang pikul itu jadi tanggung jawab mereka berdua. Mereka berdua bertetangga dan sudah berulang kali berjualan kerak telor bersama.
Sabtu (8/6/2019) adalah hari ke-18 mereka berjualan di JIExpo Kemayoran, tempat berlangsungnya Pekan Raya Jakarta (PRJ) sejak tanggal 22 Mei 2019 silam. Menurut mereka, PRJ merupakan lahan yang paling menjanjikan ketimbang ajang-ajang sejenis yang dihelat di Ibukota.
“Wah, PRJ memang paling dahsyat, dah!” ujar Rifadli kepada Kompas.com.
Pendapatan tertinggi
Bagi Rifadli, helatan PRJ 2019 merupakan kali keempatnya turut meramaikan festival ini. Tahun ini, katanya, merupakan puncak pendapatannya sebagai pedagang kerak telor di PRJ. Hal tersebut terjadi selama dua hari libur Idul Fitri pada Rabu dan Kamis, 5-6 Juni 2019 lalu.
“Kamis kemarin dapat Rp 3 juta kurang 15.000. Ya elah, tanggung bener kata gue. Dapet Rp 2.985.000, itu udah dipotong pengeluaran kami, makan, rokok, segala macem. Itu kami sampai habis 39 (telor) ayam, sama 69 (bebek).” ucap Rifadli sambil menyantap nasi pecel.
“Kemarinnya lagi dapat Rp 2,5 jutaan kalau enggak salah. Paling banyak tahun ini, ramai banget,” imbuh Rifadli.
Sejumlah pembeli yang mengitari keranjang pikulnya sesekali melontarkan rasa ingin tahu mereka kepada Rifadli maupun Alfian. Pertanyaan yang paling sering muncul ialah seputar omzet. Namun, keduanya senantiasa menutup-nutupi.
Kepada Kompas.com, mereka berdua blak-blakan soal pundi-pundi yang mereka kumpulkan selama helatan PRJ.
“Waktu hari-hari pertama lagi sepi tuh, kami cuma dapat 140. Bukan 140 telor, Bang, Rp 140.000! Ya sudah kalau kayak begitu, kami bagi dua sama bos, 70-70. Bos cuma bilang, ‘Semangat ye’,” kata Rifadli.
“Kalau sudah ramai kayak begini, ya kita setoran ke bos. Kayak misalnya kemarin dapet Rp 3 juta kurang 15.000, kami setor ke dia. Nanti kami dapat persenan. Kalau dapat Rp 2,5 juta, paling saya dapat Rp 250.000, dia (Alfian) Rp 150.000,” lanjutnya.
Rifadli mengungkapkan, bosnya merupakan tetangganya di kawasan Rawa Bunga, dekat Kampung Melayu. Alfian sendiri merupakan keponakan si bos. Sementara si bos itu sendiri memiliki 3-4 keranjang pikul pada helatan PRJ 2019 ini.
Rifadli mengaku bahwa lapaknya yang paling laris di antara yang lain.
“Soalnya ape, kita di depan. Orang datang ngeliat cuma kita doang sendiri, (pedagang kerak telor) yang lain kan pada di dalem, jejeran,” katanya.
“Jadi orang masuk-masuk langsung liat kerak telor, tau sendiri kan orang kalau ingat mau ke PRJ, ingatnya mau nyari kerak telor. Sudah pasti dah itu,” Rifadli terus berceloteh.
Selama delapan belas hari berdagang di PRJ, ditambah pengalamannya empat kali ambil bagian dalam gelaran tahunan ini, dia mengaku bahwa baru tahun ini menerima banyak pelanggan yang notabene warga luar Jakarta.
Momen Lebaran yang datang persis di tengah-tengah gelaran PRJ ditengarai jadi sebabnya.
Warga luar Jakarta inilah yang menurutnya menyumbang paling banyak nominal rupiah ketimbang warga Jakarta. Pasalnya, kerak telor boleh jadi tak pernah ditemui di tempat asal mereka.
“Ini kali banyakan orang daerah, buset norak bener ke mari kayaknya pengen makan kerak telor doang. Nanya mulu, bumbunya apa, segala macam, waaah. Mereka kan pada ramai-ramai, habis pesan satu bungkus, balik lagi buat ngebungkus dua, ngebungkus tiga,” cerita Rifadli yang bekerja sebagai juru dekorasi apabila tidak berdagang kerak telor.
Pantas jika Rifadli menjadikan PRJ sebagai kesempatan emas meraup pulung. Namun, Alfian justru menganggapnya sekadar menambah uang jajan. Ia sendiri bekerja di salah satu pusat perbelanjaan elektronik ternama di Jakarta sebagai tenaga servis komputer.
“Kalau saya Alhamdulillah digaji. Saya kan servis komputer, jadi habis servis juga dapat tip lagi dari customer, paling sedikit Rp 20.000. Sekarang kan toko lagi tutup, sambilan saja ini hitung-hitung tambah-tambah,” ujar Alfian.
Alfian akhirnya bertukar kursi dengan Rifadli. Titik-titik peluh tampak menghiasi wajahnya. Ia menyekanya berulang kali, kemudian berdiam diri sejenak.
Sementara itu, Rifadli mengenakan kemeja kotak-kotak sebagai pakaian luar. Lengannya ia gulung beberapa kali. Lalu, ia menyematkan kopiah putih di kepalanya.
“Ini khasnya tukang kerak telor, Bang,” ujar Rifadli menunjuk kopiah yang bercokol di kepalanya. “Kalau dia mah, apa, mana ada tukang kerak telor pakai topi,” selorohnya diarahkan pada Alfian yang masih muda.
“Kalau saya enggak boleh sama bos pakai (baju) tangan pendek. Kena penggorengan, nih, nih,” kata Rifadli menunjukkan sejumlah garis hitam di lengannya bekas terkena wajan yang panas.
Bosan lihat telur
Meski sambil menyelesaikan pesanan kerak telor, mulut Rifadli terus mengoceh menyambut pertanyaan Kompas.com yang sebetulnya diarahkan pada Alfian.
Hanya di PRJ, menurut Rifadli, mereka berdagang seharian selama rentang waktu satu bulan. Wajar bila pendapatan mereka berlipat ganda, dan hal itu mereka dapatkan bukan tanpa tantangan.
“Kalau di bazar lain mah kagak begini. Paling cuma berapa jam, sudah. Di PRJ kan kita dari jam 11 sampe jam 11 lagi, tapi tahu-tahu sudah gelap. Mana ada waktu buat istirahat. Sampai rumah, ngerokok sebatang. Bangun jam 10, langsung berangkat, ngipas lagi, sampai bosan lihat telur. Boro-boro mau makan (kerak telor),” kata Rifadli.
Alfian mengamini.
“Pernah paling malam kita sampai jam 12 malam, Bang,” ujarnya singkat.
Tantangan yang paling mendasar ialah mengingat-ingat pesanan para pembeli sambil menjaga fokus mengipasi tungku agar kerak telor tidak gosong. Jika pesanan terlampau banyak dan kondisi tidak mendukung, keadaan bisa berubah gawat.
“Waktu Kamis siang tuh kalau enggak salah, kan sempat hujan. Pembeli ngerubung semua di sini, mesennya banyak banget. Hujan lagi jadi Mas Poy ini lagi sibuk siapin terpal biar enggak nyiprat ke sini. Enggak ada yang bantu ngingetin. Akhirnya, ada satu orang (pesanannya) enggak kebikin. Marah dia, ditinggal kita,” Alfian berkisah.
“Kalau hari ini, aman,” imbuhnya.
Rifadli lantas membayangkan hari ketika gelaran PRJ ini usai. Kendati meraup banyak untung, ia mengaku lelah menjalani rutinitas ini.
“Nanti habis PRJ kami pre dulu, ke Sukabumi. Kami refreshing dulu. Habis itu ada bazar di Monas tiga hari,” katanya sambil tertawa.
“Capek, dikata begini kagak capek? Besok Minggu mau libur dulu juga, ah,” tambahnya.
Mereka berdua kemudian makin sibuk meladeni pembeli yang kian bertambah selepas pukul 20.00 WIB. Tak ada kesempatan buat melontarkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan kepada mereka.
Alfian tampak agak keteteran menyiapkan bungkus kerak telor dan kursi-kursi bagi pembeli yang hendak makan di tempat, sedangkan Rifadli yang sejak tadi terus mengoceh kini duduk tenang di depan tungku.
Dia diam selama kurang lebih tiga puluh menit, menjaga fokus menyelesaikan pesanan yang terus berdatangan. Setengah jam berselang, saat pembeli mulai berkurang, Alfian tiba-tiba berseru lantang.
“Aduh, berdiri dulu, ah! Tangan panas, muka panas, pinggang juga panas!”
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/06/09/06525701/cerita-pedagang-kerak-telor-di-prj-berlimpah-order-hingga-bosan-lihat