Menurut Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono, peserta aksi yang menyebabkan kerusuhan hingga kini belum diamankan oleh polisi.
Tak ada penjelasan detail mengenai alasan polisi tidak mengamankan peserta aksi unjuk rasa.
Sikap polisi yang belum juga menangkap perusuh dalam unjuk rasa itu terkesan berbeda dibandingkan penanganan aksi unjuk rasa yang berujung rusuh umumnya.
Biasanya, polisi baik yang berpakaian dinas maupun anggota reserse yang berpakaian preman akan dengan sigap mengamankan mereka yang diduga memicu kerusuhan.
Namun, pada aksi kemarin, tak ada satu pun peserta aksi yang ditangkap. Polisi juga terlihat menunggu cukup lama untuk memadamkan api dari karangan bunga yang dibakar peserta.
Lantas, bagaimana sebenarnya aturan yang berlaku terkait penyampaian pendapat di muka umum dan penanganannya?
Ada dua peraturan yang digunakan kepolisian dalam mengamannkan jalannya sebuah unjuk rasa.
Kedua peraturan itu yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri Nomor 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Berdasarkan Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 menyebutkan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum memiliki beberapa kewajiban.
Salah satunya adalah menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
Dalam pasal 15, sanksi bagi pelanggaran tersebut adalah kemungkinan untuk dibubarkan.
Lebih lanjut, pasal 16 dan pasal 17 menyebut penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana akan dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal ini, tindak pidana yang dimaksud adalah kejahatan.
Penindakan terhadap kericuhan
Secara rinci, aturan tentang penanganan kericuhan dalam suatu aksi unjuk rasa dilakukan polisi berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008.
Di dalam aturan itu, terdapat beberapa larangan kegiatan ketika melakukan penyampaian pendapat di muka umum.
Dalam Pasal 12, disebut bahwa penyampaian pendapat di muka umum dilarang dilakukan dengan cara sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan, atau banjir yang dapat menimbulkan bahaya umum bagi jiwa dan atau barang.
Larangan lain dalam pasal yang sama juga menyatakan bahwa penyampaian pendapat tidak boleh dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang.
Terhadap aksi yang melakukan larangan-larangan tersebut, Pasal 21 ayat 5 menyebut bahwa penyampaian pendapat di muka umum yang anarkis dilakukan penindakan sebagai berikut:
a. Menghentikan tindakan anarkis melalui himbauan, persuasif, dan edukatif
b. Menerapkan upaya paksa sebagai jalan terakhir setelah upaya persuasif gagal dilakukan
c. Menerapkan penindakan hukum secara profesional, proporsional dan nesesitas yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
d. Dalam hal penindakan hukum tidak dapat dilakukan seketika, maka dilakukan upaya mengumpulkan bukti-bukti dan kegiatan dalam rangka mendukung upaya penindakan di kemudian hari (misalnya melakukan pencatatan identitas sasaran, pemotretan, merekam kegiatan)
e. Melakukan tindakan rehabilitasi dan konsolidasi situasi
Maka jelas dengan aturan yang dipaparkan di atas, polisi memiliki hak dan kewajiban untuk menindak suatu tindak kericuhan yang terjadi dalam sebuah aksi unjuk rasa.
Penindakannya dikembalikan kepada penilaian polisi atas tindakan yang ada, bisa seketika saat terjadi atau pun setelah situasi kondusif.
Namun, beberapa hari setelah demo itu berlangsung, tak ada juga pelaku yang diamankan polisi.
Di sisi lain, wartawan kemudian mengungkap adanya massa bayaran dalam aksi unjuk rasa pendukung revisi UU KPK. Mereka yang berunjuk rasa juga tidak paham substansi yang menjadi tuntutan mereka.
Akankah polisi bertindak?
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/09/17/16221641/tak-ada-satu-pun-perusuh-demo-dukung-revisi-uu-kpk-ditangkap-bagaimana