Pihak sekolah kini kesulitan menjalankan kegiatan belajar-mengajar, sebab bangunan rusak yang mereka pakai merupakan rumah kontrakan.
Selain itu, operasional sekolah belum berizin.
"Untuk urus izin, nomor 1, harus ada lahan 1.000 meter persegi. Saya enggak punya uang untuk itu. Lalu, harus ada 3 local class. Jangankan itu, tanah saja saya enggak punya di kota yang lahannya mahal ini. SLB juga izinnya harus sampai provinsi," ungkap Kepala SLB Bundaku, Anggaraeni Puspa Sari ketika ditemui Kompas.com di SLB Bundaku, Selasa (15/10/2019).
Perempuan yang akrab disapa Reni itu menyebut, birokrasi yang rumit dan memakan ongkos jadi alasan utama sekolah yang ia bangun belum kunjung berizin.
"Untuk membayar adminisitrasi dan operasional kita saja, kita sudah bersyukur," kata dia.
Reni mengatakan, pihaknya menggunakan rumah kontrakan eks taman kanak-kanak ini sejak 2012.
Pada 14 April 2019 lalu, ia kembali memperpanjang kontrak, karena ia tak menyangka atap rumah itu akan roboh pada 23 September 2019.
"25 Juli roboh atapnya sebagian. Saya infokan ke yang punya rumah, tapi dia enggak punya uang untuk perbaiki karena biayanya besar. Akhirnya, saya panggil tukang untuk ngerubuhin, takutnya anak-anak lewat kerubuhan genteng dari atas. Jadi sengaja dirobohin," Reni menjelaskan.
Praktis, hanya ada satu ruangan tersisa yang dipakai oleh 15 anak berkebutuhan khusus untuk belajar.
Namun, Reni dan orangtua murid dibayangi ketakutan karena musim hujan bakal datang.
Sedangkan ruang belajar hanya dipisahkan sekat triplek dengan bangunan yang atapnya ambruk.
Air hujan yang sewaktu-waktu datang akan menggenangi ruang kelas dan membahayakan murid karena banyak instalasi listrik.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/15/17313111/sudah-sebulan-atap-slb-bundaku-bekasi-roboh