Ini merupakan kisah tentang seorang murid berinsial BB di mana orang tuanya yang bernama Yustina Supatmi menggugat secara perdata SMA Kolese Gonzaga.
Gugatan itu dilayangkan karena Yustina menganggap ada kesalahan yang dibuat pihak sekolah sehingga memutuskan anaknya tidak naik kelas.
Belum ada yang tahu alasan utama orang tua BB melayangkan gugatan itu. Pihak sekolah pun hingga saat ini juga belum memberikan pernyataan resmi.
Namun, menilik kisah-kisah masa muda para alumnus SMA tersebut, ternyata siswa yang tinggal kelas bukanlah barang baru di SMA tersebut. Siswa-siswa yang tinggal kelas ini kerap disebut dengan istilah "veteran".
Lantaran seringnya kejadian siswa yang menjadi veteran itu, nyatanya dalam pergaulan sehari-hari anak-anak veteran ini bukanlah warga kelas dua yang dipandang sebelah mata siswa lainnya.
Bahkan, sama sekali tak menentukan, sukses atau tidaknya anak itu kelak. Yang terjadi, para guru dan siswa lain di SMA itu ternyata saling mendukung agar sang veteran ini bangkit dan semangat untuk terus belajar.
Setidaknya itulah yang dikisahkan beberapa alumni SMA Kolese Gonzaga yang sempat ditanyai Kompas.com.
Tinggal kelas bukan kegagalan
Michle ‘Biyik’ Dalopez, misalnya. Angkatan keempat Gonzaga ini mengaku kaget ketika mendengar berita tersebut.
Menurut dia, fenomena tinggal kelas merupakan hal biasa yang terjadi di semua sekolah, termasuk SMA Kolese Gonzaga.
“Kita enggak mendiskreditkan mereka karena tinggal kelas, karena tinggal kelas bukan sebuah kegagalan itu hanyalah keberhaslian yang tertunda dan dapat diusahakan lagi,” ujar dia ketika dihubungi Kompas.com, Rabu (30/1/2019).
Lagi pula, ketika Biyik sekolah di sana, banyak juga siswa yang tinggal kelas namun tidak pernah memproses sekolah ke jalur hukum.
Daripada menggugat, siswa pada masanya lebih baik memperbaiki pola belajar dengan bantuan guru dan murid agar nilai akademis bisa meningkat.
Dan menyandang status sebagai veteran sendiri bukan menjadi sebuah aib di lingkungan sekolah. Setiap siswa yang bertemu veteran tidak pernah mendiskreditkan, justru mereka kagum.
“Justru kagum karena dia mau kembali berusaha, kembali berbaur bersama teman–teman di bawahnya. Juniornya pun pasti merangkul, membaur dengan baik. Zaman saya sih begitu,” kata Biyik.
Boleh nakal, tapi jangan bego
Biyik juga menanggapi pemberitaan jika BB tinggal kelas bukan hanya karena nilai, tetapi karena melanggar tata tertib sekolah yakni makan kuaci di kelas.
Walaupun pernyataan tersebut bukan keluar dari pihak orang tua dan sekolah, namun alasan tersebut sempat mebuat Biyik mengernyitkan dahi.
Kembali lagi ke zaman Biyik, dia menceritakan jika pelanggaran tata tertib ringan tidak terlalu jadi pertimbangan sekolah untuk tidak menaik kelaskan siswanya.
“Nah kalau zaman dulu tergantung nilai saja ya. Istilahnya dulu itu ada yang mengatakan ‘lu boleh nakal tapi jangan bego,” ucap dia.
“Kalau yang misalnya kamu makan kuaci jadinya kamu tinggal kelas sih bagaimana ya. Tapi kan saya belum dengar langsung dari Gonzaganya nih,” ucap dia.
Menikmati hidup di Gonzaga
Bukan hanya Biyik. Angkatan lima SMA Kolese Gonzaga, Ignasius Indro, juga menyatakan hal yang sama.
Dirinya yang juga jadi salah satu siswa penyandang gelar veteran ini tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif di lingkungan sekolah.
“Kalau dulu mah biasa aja Mas, malah banyak banget yang enggak naik kelas. Malah ada yang bersyukur bisa lebih lama di Gonzaga, karena kan sekolahnya memberikan kita kebebasan, kita belajar dewasa terus boleh gondrong jadi kami menikmati bener kehidupan di sana,” ucap Indro.
Indro mengatakan pihak sekolah sangat membebaskan siswa untuk berekspresi.
“Kayak saya contohnya, dulu lebih ke condong seniman dan sekarang saya jadi illustrator. Itu ditekankan di Gonzaga. Misalnya dia mampu jadi wirausaha ya nanti diarahkan. Difasilitasi dengan pihak sekolah lewat ekskul,” ucap dia.
Bagi dia, tidak ada yang salah ketika menjadi veteran. Yang salah adalah ketika kita tertinggal dan tidak berbuat apa-apa untuk bangkit kembali. Seharusnya mental seperti itu yang terbangun dalam setiap siswa
Sebagai alumni, mereka sangat menyangkan kasus tersebut harus berjalan di meja hijau. Mereka berdua menyarankan bagi kedua belah pihak untuk saling introspesksi diri.
Pihak orang tua mungkin bisa mempertimbangkan agar tidak melanjutkan proses hukum dan memilih jalan kekeluargaan.
Sedangkan pihak pihak sekolah mungkin bisa menjadikan fenomena ini untuk menginstrospeksi diri agar ke depan lebih hati–hati mengambil keputusan yang berkaitan dengan masa depan siswanya.
Walaupun proses persidangan tengah berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mereka berharap saran ini bisa didengar dan direnungkan demi kebaikan almamater di masa depan.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/10/31/08560631/kisah-siswa-veteran-di-sma-gonzaga-bukan-aib-apalagi-jadi-warga-kelas-dua