Mereka bernaung dalam komunitas Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Bekasi.
Pantauan Kompas.com di lokasi, kalangan perempuan mengambil alih barisan paling depan pengunjuk rasa.
Menurut koordinator aksi, Nina Karenina, hal ini merupakan simbol tersendiri dari wacana yang mau mereka perjuangkan.
"Aksi hari ini termasuk membuktikan bahwa ada isu perempuan yang diperjuangkan," ujar Nina kepada Kompas.com, Selasa.
"Perempuan ada di baris terdepan. Perempuan itu bisa, perempuan itu sejajar, perempuan punya suara. Suara perempuan adalah suara perubahan," ungkap dia.
Nina menyatakan, isu soal perempuan dan anak merupakan salah satu poin yang disoroti oleh para pengunjuk rasa, selain isu-isu HAM lain menyangkut Pemerintah Kota Bekasi seperti penggusuran paksa dan tingginya angka kekerasan dalam rumah tangga.
"Banyak kasus pelecehan seksual di Bekasi, pemerkosaan anak dan di bawah umur. Kalau pelecehan terhadap perempuan dewasa tidak karena pakaian, tetapi mereka kurang ruang-ruang kerja yang ramah," jelas Nina.
"Mereka mau tidak mau kerja dalam dunia yang sebetulnya itu tidak baik untuk mereka. Tinggal mereka secara tidak langsung sedang dilecehkan," imbuh dia.
Nina menganggap, ruang-ruang publik yang tidak ramah perempuan dan anak, seperti halte-halte dan jalan raya pada malam hari, akhirnya membuat mereka tak leluasa beraktivitas maupun merasa aman.
Pelecehan seksual baik dalam bentuk verbal dan nonverbal tanpa sentuhan, jadi langganan yang harus dilalui kalangan perempuan terutama pada malam hari.
Sementara itu, anak-anak kerap mendapat perlakuan bully di lingkungannya.
Sedangkan Pemkot Bekasi, menurut Nina, hanya berkutat dalam penyuluhan-penyuluhan tak berdampak.
"Penyuluhan itu tidak bisa menjadi tolak ukur. Harus ada gerakan-gerakan konkret anti-bullying, sekolah ramah anak, untuk anak-anak," pungkasnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/10/18434801/seruan-mahasiswi-di-hari-ham-internasional-ruang-publik-belum-ramah