Salin Artikel

Kolumbarium, Pemakaman Vertikal di Pemakaman Bitung Buaran

JAKARTA, KOMPAS.com - Ada yang unik dari salah satu pemakaman yang dimiliki oleh Paroki Gereja St. Servatius, Kampung Sawah, Bekasi. Tepatnya, terletak di kawasan makam Bitung Buaran, Bekasi.

Dari pintu masuk memang terhampar ratusan makam di atas tanah, tetapi bila melihat ke ujung pemakaman ada lahan yang berisi dua rak besar yang tersusun rapih.

Ketika semakin mendekat ke “benda” yang dari jauh terlihat seperti rak rak besar, ternyata itu adalah pemakaman vertikal yang bernama kolumbarium.

Ketika dilihat dari dekat terlihat jelas kolumbarium ini terbuat dari keramik.

Siang itu ada seorang pria kelahiran 1964 yang sedang membersihkan kolumbarium dengan kain. Dia lah Markus Sulaeman, salah satu Pengurus Pelayanan Pemakaman.

Keterbatasan lahan

Kolumbarium setinggi 2 meter ini diciptakan karena memang sudah ketentuan dari Dewan Paroki Servatius sejak 2007.

Namun, Pengurus Pelayanan Pemakaman baru merealisasikannya pada 2018.

“Kita (Gereja St. Servatius) kan memang punya dua komplek pemakaman. Yang satu di Kampung Sawah yang satu lagi di sini di Komplek Bitung. Nah karena yang di Kampung Sawah berdirinya lebih lama (1930) jadi sudah penuh di sana,” ujar Markus.

Lahan pemakaman milik mereka di Kampung Sawah sudah penuh sehingga tidak memungkinkan untuk untuk dipakai.

Sehingga harapan yang dimiliki umat katolik di Kampung Sawah selanjutnya adalah Pemakaman Bitung Buaran.

Setiap tahunnya Pemakaman Bitung Buaran menerima antara 40-50 jenazah baru. Karena jumlah ini yang juga membuat pemakaman semakin penuh.

“Lahan di daerah kami makin sempit. Tanah semakin langka dan harganya juga makin tinggi. Kami tidak mungkin terus-terusan beli lahan makam. Nanti yang ada kampung penuh sama pemakaman doang,” tambah Markus.

Dari pemikiran-pemikiran tadi, mereka berusaha memaksimalkan pemanfaatan lahan yang ada.

Ketika ada lahan yang masih kosong, Pengurus Pelayanan Pemakaman langsung menggunakannya untuk membangun kolumbarium.

Lebih efisien dan praktis

Lahan 100 meter yang disediakan untuk mendirikan kolumbarium di area pemakaman Bitung Buaran diperhitungkan dapat menampung ratusan kerangka.

Kenapa kerangka? Hal ini karena kolombarium di pemakaman Bitung Buaran memang dikhususkan untuk jenazah yang sudah berusia 9 tahun dikubur di dalam tanah, sehingga hanya tersisa kerangka.

Kerangka inilah yang kemudian disimpan dalam kolombarium.

Metode ini dinilai bisa lebih menghemat lahan dibandingkan makam pada umumnya.

Sebagai gambaran, luas tanah 1.450 meter hanya bisa menampung 270-an jenazah. Sementara kolombarium Bitung Buaran hanya memerlukan 100 meter untuk bisa kebumikan 200 kerangka.

Di kawasan makam Bitung Buara ini, terdapat dua buah kolombarium yang satu mukanya terdapat 36 kolom.

Total k yang ada di dua kolumbarium ini 78 kerangka. Sebanyak enam kerangka di antaranya adalah kerangka anak-anak sehingga bisa dimasukan satu kolom dengan kerangka orang dewasa.

“Dengan kolumbarium ini lumayan menghemat karena kan ke atas ya,” ujar Markus.

Pro dan kontra tetap ada

Inspirasi kolumbarium ini datang ketika salah satu romo mereka, Romo Hani memberi pengajaran kepada Dewan Paroki Servatius.

“Beliau (Romo Hani) sebelum pindah ke Katedral pernah bilang kalau kolumbarium ini sudah banyak diterapkan di pemakaman di luar negeri. Di Indonesia pun juga ada, salah satunya yang saya tahu ada di Depok,” ujar Markus.

Meski sudah banyak pemakaman Nasrani di luar negeri yang menerapkan ini, bagi beberapa jemaat Gereja St. Servatius tetap ada yang kontra karena ketidaktahuan mereka.

“Yang pro ada yang kontra juga ada. Yang kontra karena mereka masih berpikiran kalau manusia itu dari tanah, seharusnya kembali ke tanah lagi. Padahal kita juga tetap menguburkan jenazah yang baru ke dalam tanah dulu, baru setelah 9 tahun bisa ditaruh di kolumbarium,” ujar Markus.

Tidak mahal

Pembangunan kolumbarium diserahkan Pengurus Pelayanan Pemakaman kepada ahlinya.

Mereka membentuk panitia dulu yang terdiri dari orang-orang yang kompeten dalam bidangnya, seperti arsitek, sipil, orang keuangan, serta orang yang paham dengan lingkungan.

Meskipun proyek pembuatan kolumbarium ini melibatkan orang-orang yang ahli namun pihak Pengurus Pelayanan Pemakaman tidak membedakan harga antara biaya untuk pemakaman di atas tanah dan pemakaman di dalam kolumbarium.

Biaya untuk mengubur jenazah yang baru dan pengangkatan kerangka yang sudah 9 tahun ke dalam kolumbarium tetap sama.

“Waktu pengangkatan kerangka, pihak keluarga dikenakan Rp 1,3 juta. Sebetulnya biaya pengangkatan totalnya Rp 2,6 juta. Sisa untuk menambah uang yang dikenakan kepada pihak keluarga jenazah diambil dari kas pelayanan pemakaman,” ujar Markus.

Selain dikenakan biaya pengangkatan, pihak keluarga jenazah harus membuat surat permohonan ke pihak Pengurus Pelayanan Pemakaman di awal periode dibukanya kloter kolumbarium.

https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/25/12553961/kolumbarium-pemakaman-vertikal-di-pemakaman-bitung-buaran

Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke