JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir dan DKI Jakarta seolah menjadi dua kata yang tak dapat dipisahkan.
Permasalahan yang satu ini memang membutuhkan perhatian khusus di bawah kepemimpinan gubernur siapa pun.
Tak heran, jika dalam setiap pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta, salah satu yang paling disorot publik adalah solusi terhadap banjir.
Salah satu pemimpin ibu kota yang berupaya mengatasi banjir adalah Ali Sadikin.
Gubernur ketujuh DKI Jakarta ini menyebutkan bahwa beberapa program dilakukan demi mengatasi banjir Jakarta.
"Yang bisa saya lakukan hanyalah mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," tulis Ali dalam buku berjudul Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977.
Meski demikian, ia mengakui bahwa program-program tersebut tak bisa menyelesaikan masalah banjir secara keseluruhan.
Di masa kepemimpinan Ali, ada beberapa wilayah yang sangat rawan banjir saat musim hujan karena bentuk wilayah yang lebih rendah dari permukaan laut.
"Tempat-tempat itu ialah di sebelah selatan Banjir Kanal. Tanah Abang, Gunung Sahari, daerah Menteng, Pademangan, Sunter, semuanya lebih rendah dari permukaan laut. Petanya pun sudah ada mengenai ini," lanjut dia.
Banjir yang terjadi memang tak pernah lepas dari meluapnya sungai-sungai yang mengalir Jakarta sepertu Ciliwung, Cisadane, dan cabang sungai lainnya.
Ali memang sudah mewanti-wanti bahwa Jakarta tidak akan bisa dihindarkan dari banjir jika sistem drainase tidak dibangun dengan baik.
"Tidak bisa dihindarkan sampai kapan pun, selama kita tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Untuk mengatasi bahaya itu dengan tuntas, biayanya mahal, terlalu mahal," kata dia.
Biaya untuk drainase yang mahal
Biaya yang diperlukan untuk membangun drainase di masa bertugasnya Ali mencapai 800 juta dollar AS.
Sedangkan perhitungan biaya untuk proyek penanggulangan banjir sesuai dengan rencana induk dalam programnya adalah sebesar Rp 500 miliar.
Ali pun mengajukan besaran anggaran tersebut kepada Pemerintah Pusat.
Pada tahun anggaran 1975-1976, Pemerintah Pusat mengucurkan dana penanggulangan banjir sebesar Rp 4,2 miliar.
"Sedangkan pada tahun anggaran 1976-1977 dalam sistem macro drainage, program-program ditujukan pada penyempurnaan waduk-waduk saluran dan banjir kanal," tutur mantan Menteri Perhubungan Laut Indonesia ini.
Dengan anggaran tersebut, sejumlah waduk kemudian dibangun yaitu Waduk Setiabudi, Waduk Melati, dan Waduk Pluit.
Tak hanya waduk, beberapa saluran juga dikerjakan seperti Saluran Cakung, pengerukan Kali Cideng, Banjir Kanal, dan Pintu Air Karet sampai Jembatan Gantunf Tanah Abang.
Ikut mengawasi pintu air saat hujan
Cerita menarik lainnya tentang upaya mengatasi banjir saat menjabat sebagai orang nomor 1 di DKI Jakarta adalah Ali kerap memantau pintu air saat hujan.
Ia mengisahkan, pernah satu kali waktu saat hujan deras mengguyur Ali bergegas 'nongkrong' di Pintu Air Manggarai.
"Dengan mengenakan jas hujan, pakaian agak tebal supaya tidak cepat tembus air, topi penahan air hujan, sepatu bot dari karet saya keluar rumah dan nongkrong di Pintu Air Manggarai mengawasi dan ikut mengatur kalau-kalau Banjir Kanal itu airnya naik," ujar Ali.
Ali berpendapat jika Banjir Kanal jebol maka Jakarta bisa hancur karena diterjang banjir.
"Hendaknya diketahui, bahwa kalau Banjir Kanal bobol hancurlah kota Jakarta. Kita mesti pandai mengatur sampai mana kita bisa menenggang air itu bisa masuk Ciliwung, untuk mengamankan Banjir Kanal," ucap dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/15/10002481/cerita-ali-sadikin-tongkrongi-pintu-air-manggarai-dan-upaya-atasi-banjir