TANGERANG, KOMPAS.com - Bangunan kelenteng Boen Tek Bio tak nampak tua meski usianya sudah lebih dari tiga abad.
Justru kesan klasik yang muncul saat melihat ornamen kelenteng dengan genting berwarna oranye kusam dan atap yang melengkung khas bangunan istana China itu.
Di bagian depan kelenteng terdapat dua patung singa penjaga tempat memasuki ruang utama persembahyangan, tempat para dewa-dewi bersemayam.
Suasana terik panas tidak membuat kelenteng Boen Tek Bio sepi pengunjung yang umumnya masyarakat Tionghoa untuk sembahyang.
Pada Rabu (22/1/2020), Kompas.com menemui Sekertaris Umum Perkumpulan Boen Tek Bio, Ruby di kelenteng tersebut.
Pria yang juga kerap dipanggil dengan sebutan Romo itu langsung mengajak bicara di sebuah ruangan penerimaan tamu di Boen Tek Bio.
"1684 kelenteng ini berdiri sebagai tempat persembahyangan orang-orang Tionghoa," kata dia kepada Kompas.com.
Ruby mengatakan, kelenteng ini berawal dari semangat orang-orang Tionghoa yang melakukan perniagaan di Pasar Lama Kota Tangerang.
Pasar Lama memang menjadi tempat perdagangan sedari dulu.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan nama-nama gang di sekitar Boen Tek Bio sendiri.
Seperti gang gula dan gang Cilangkap. Sebagai tempat perdagangan, dulunya Pasar Lama sering menjadi tempat pertukaran barang-barang dagangan seperti tebu dan hasil kebun lainnya.
Pada masa pemerintahan Belanda, rel kereta api bukan terhenti di Stasiun Tangerang, melainkan terus sampai ke bibir sungai Cisadane.
Itulah sebabnya wilayah Pasar Lama menjadi tempat transit transportasi pengangkut yang Ideal.
Orang-orang Tionghoa yang dulunya bermukim di Teluknaga Kota Tangerang, akhirnya banyak yang menetap di pusat dagang itu kemudian mendirikan kelenteng.
"Mulanya hanya berbentuk tempat sembahyang di tengah itu," kata Ruby.
Setelah berusia lebih dari seratus tahun atau tepatnya 1844 Masehi, kelenteng direnovasi besar-besaran.
Patung dewa-dewi yang berada di kelenteng kemudian dipindahkan sementara ke kelenteng Boen San Bio hingga masa pengerjaan selesai.
Pada saat pengerjaan selesai, patung yang dititipkan di kelenteng Boen San Bio kemudian diarak ke kelenteng Boen Tek Bio, bertepatan di tahun naga.
Tradisi arak-arakan dewa-dewi tersebut kemudian dibuat berulang 12 tahun sekali setiap tahun Naga.
Terakhir, kata Ruby, arak-arakan yang kini dikenal dengan kirab budaya Kota Tangerang diselenggarakan 2012 silam.
"Kita akan adakan nanti di tahun 2024, empat tahun lagi," tutur Ruby.
Menjadi simbol keberagaman
Kelenteng tersebut ternyata bukan satu-satunya bangunan cagar budaya yang dimiliki Kota Tangerang di kawasan Pasar Lama.
Di sebelah kelenteng ada rumah seorang warga Tionghoa yang dijadikan museum bernama Benteng Heritage.
Bangunan lainnya berada sekitar 84 meter ke arah barat Kelenteng.
Di sana, berdiri sebuah masjid berwarna hijau muda dengan menara berbentuk seperti pagoda.
Masjid Jami Kali Pasir namanya.
Didirikan terpaut belasan tahun dari Kelenteng Boen Tek Bio.
Selama ratusan tahun, dua bangunan ini berdiri beriringan tanpa adanya konflik persinggungan antara kedua kelompok masyarakat yang berbeda keyakinan.
Ruby bercerita, eratnya tali persaudaraan masyarakat setempat yang memeluk agama Islam dengan etnis Tionghoa yang ada di sekitar Boen Tek Bio pernah diuji oleh orang gangguan jiwa yang melakukan kekerasan kepada orang muslim di Kali Pasir.
"Pernah, beberapa waktu lalu ada orang tidak waras yang sering ke Kelenteng, suatu hari dia menusuk (dengan benda tajam) masyarakat sebelah (Kali Pasir)," kata Ruby.
Tapi apa yang menjadi respon masyarakat Kali Pasir justru memaklumi kejadian tersebut.
Masyarakat mengerti bahwa ada orang tak waras yang kebetulan sering berada di sekitar kelenteng.
"Tidak ada ribut-ribut, kita saling percaya dan saling menjaga. Intinya kami sadar kami itu saling membutuhkan," kata dia.
Keterlibatan masyarakat dalam acara besar
Hubungan saling membutuhkan tersebut tercermin dalam hari-hari besar orang-orang Tionghoa di kelenteng Boen Tek Bio.
Keamanan dan kenyamanan mereka yang berkunjung di Kelenteng akan dijaga oleh warga muslim di Kali Pasir sana.
"Seperti parkir dan keamanan, kita meminta bantuan dan melibatkan pemuda-pemuda Kali Pasir," tutur Ruby.
Sebaliknya, kelenteng Boen Tek Bio juga rutin menggelar kegiatan sosial berupa pengobatan gratis untuk masyarakat sekitar.
Tak jarang, masyarakat muslim di Kali Pasir menjadi penerima manfaat dari kegiatan sosial yang dilakukan di Boen Tek Bio.
Juga saat Imlek yang akan jatuh pada Sabtu (25/1/2020) mendatang.
Ruby menyiapkan sembako untuk lebih dari 200 kepala keluarga orang-orang Tionghoa yang dianggap masih susah secara finansial.
"5 kilogram beras, mie instan dan minyak goreng, untuk tiap keluarga" kata dia.
Dengan adanya kegiatan pembagian sembako tersebut, dia berharap pada saat tahun baru Imlek tidak ada orang yang tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak.
Begitu juga untuk masyarakat Kali Pasir di sekitar Boen Tek Bio.
Bagi yang terdata kurang mampu secara finansial akan mendapatkan sumbangan sembako tersebut.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/01/23/05362671/kelenteng-boen-tek-bio-simbol-toleransi-di-tengah-pasar-lama-kota