Arsitektur tua khas bangunan-bangunan di masa pemerintahan kolonial Belanda masih terpelihara rapih, yang kini dinamakan Museum Kebangkitan Nasional.
Arsitektur tua itu bukan dibuat-buat. Usia gedung ini justru lebih tua dari Republik Indonesia berdiri. Arsip Kompas mencatat bangunan tua bersejarah ini dibangun di awal tahun 1899 dan selesai pembangunan setelah memakan waktu tiga tahun.
"Pembangunan gedung tersebut dimaksudkan sebagai gedung sekolah untuk mendidik dokter-dokter pribumi," tulis Harian Kompas edisi 31 Januari 1981.
Sekolah itu dinamakan STOVIA, yang merupakan singkatan dari School Tot Opleiding Van Inlands Artsen atau sekolah kedokteran untuk masyarakat pribumi kala itu.
Dalam "Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional" yang diterbitkan tahun 2010, pembangunan gedung sekolah kedokteran untuk masyarakat pribumi bukan tanpa alasan.
Latar belakang dibangunnya sekolah itu diperuntukan karena wabah penyakit menular seperti tipes, kolera, disentri dan berbagai macam penyakit lainnya sedang merebak di daerah Banyumas dan Purwokerto tahun 1847.
"Wabah penyakit tersebut tidak dapat dibrantas oleh tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya terbatas," tulis buku tersebut.
Saat itu STOVIA masih belum memiliki gedung sendiri dan menumpang di Rumah Sakit Militer Weltevreden pemerintahan Batavia. Beranjak enam tahun, 11 lulusan pertama STOVIA berhasil membantu pemerintahan Belanda untuk mengentaskan penyakit cacar yang sedang merebak.
Seiring berjalannya waktu, STOVIA tak lagi diisi murid yang hanya berasal dari Pulau Jawa. Beberapa dari mereka terdapat orang Minangkabau yang saat ini Sumatera Barat dan orang-orang Minahasa dari Sulawesi.
Barulah pada tahun 1899 dibangun gedung baru dengan bantuan tiga pengusaha Belanda yaitu P.W Janssen, J. Nienhuys dan H.C van den Honert dan pembangunan berhasil selesai pada 1902.
Tempat Lahirnya Boedi Oetomo
Di bangunan tua inilah juga tempat berseminya gerakan nasionalisme bernama Boedi Oetama (selanjutnya Budi Utomo) didirikan pada 20 Mei 1908 yang kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Budi Utomo sendiri diracik oleh para pelajar dari sekolah STOVIA. Perintisnya adalah Dr. Wahidin Soedirohoesodo, seorang pelajar STOVIA yang berasa dari Sleman Yogyakarta.
Dia merasa prihatin dengan masyarakat yang tidak mampu melanjutkan pendidikan akibat kesulitan ekonomi sehingga membuat wadah dana pendidikan yang dihimpun dari para bangsawan.
Idenya tersebut memantik kesadaran nasionalisme pelajar STOVIA dan mulai bermunculan forum diskusi untuk merealisasikan ide luhur Wahidin memajukan bangsa pribumi dengan pendidikan.
Pada 20 Mei 1908 di Ruang Kelas Anatomi STOVIA diadakan pertemuan antar pelajar yang memutuskan untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo dengan dipimpin Raden Soetomo.
Adapun Budi Utomo sendiri menjadi organisasi modern pertama yang dibuat masyarakat pribumi kala itu dengan ditandai adanya struktur kepengurusan.
Selain Raden Soetomo menjadi ketua, ada M Soeleman yang dipilih menjadi Wakil Ketua, Seowarno sebagai Sekertaris I, M Goenawan Komisaris II, Bendaraha; R. Angka, Komisaris; M Soewarno, Muhamad Saleh, M. Soerajdi dan M Goembrek.
Sempat Ditentang Pengajar di STOVIA
Lahirnya Budi Utomo tak serta-merta mendapat persetujuan dari semua kalangan, termasuk kalangan Dosen dan Pengajar di STOVIA yang kala itu khawatir organisasi ini mengancam pemerintahan Kolonial Belanda.
Pada pengajar melakukan sidang tetang pendirian Budi Utomo dan meminta agar mereka yang tergabung di dalam Budi Utomo dikeluarkan dari STOVIA.
Tapi justru keputusan mengejutkan keluar dari Direktr STOVIA kala itu dipegang Dr. H.F Roll yang membela Raden Soetmo dan pengurus Budi Utomo lainnya untuk tetap bisa berorganisasi.
Pada saat sidang berlangsung H.F Roll mengatakan kepada peserta sidang bahwa gerakan Budi Utomo adalah hal yang wajar untuk pelajar di STOVIA yang berjiwa muda.
"Apakah di antara tuan-tuan saat muda tidak ada yang semerah Soetomo," kata dia seperti ditulis Museum Kebangkitan Nasional.
Budi Utomo kemudian menjelma menjadi organisasi sosial budaya pertama yang berperan besar memajukan dunia pendidikan untuk kalangan pribumi dan mempersatukan pelajar-pelajar seantero Nusantara.
Beberapa kali berganti fungsi
Arsip Kompas menceritakan Gedung Museum Kebangkitan Nasional selain dulunya menjadi sekolah kedokteran, juga pernah beberapa kali beralih fungsi.
Gedung tersebut sudah mulai tidak aktif menjadi sekolah kedokteran pada 1925 dan dijadikan asrama untuk para pelajar kedokteran yang ruang kelasnya dipindah ke Salemba Raya yang kini merupakan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Setelah Jepang menduduki Indonesia di tahun 1942, gedung tersebut digunakan untuk tahanan tawanan perang Jepang terhadap orang-orang Belanda.
Begitu juga setelah kemerdekaan 1945, gedung tersebut tidak langsung berubah menjadi Museum Kebangkitan Nasional.
"Antara tahun 1945-1973 gedung eks STOVIA itu ditempati oleh masyarakat Ambon," tulis arsip Kompas edisi 31 Januari 1981.
Barulah pada 20 Mei 1974, Presiden Republik Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Soeharto meresmikan gedung eks STOVIA sebagai Gedung Museum Kebangkitan Nasional dan ditetapkan sebagai cagar budaya.
Gedung tersebut tidak hanya memuat Museum Kebangkitan Nasional.
Ada empat museum sekaligus dalam satu komplek gedung eks STOVIA itu, di antaranya Museum Kebangkitan Nasional, Museum Kesehatan Nasional, Museum Pers Nasional dan Museum Sejarah Pergerakan Wanita Indonesia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/08/18/12093891/dari-stovia-untuk-indonesia-merdeka-kisah-generasi-pertama-dokter-pribumi