Sebetulnya, fenomena itu bukan hanya terjadi di Depok tetapi juga di banyak daerah di Indonesia meskipun pandemi sudah berlangsung 10 bulan lamanya.
Data yang dihimpun KawalCovid-19 hingga Selasa (5/1/2020), misalnya, antara situs resmi daerah dan pemerintah pusat ada selisih 48.440 kasus Covid-19 (5,85 persen), 58.853 kasus sembuh (8,35 persen), dan selisih terbesar pada 5.142 kematian (18,20 persen) nasional.
Berikut Kompas.com merangkum sejumlah hal terkait selisih data kasus Covid-19 Depok dan nasional:
1. Terpaut 5.000 kasus, selisih angka kematian paling besar
"Saat ini, terjadi gap (selisih) data yang cukup tinggi, sejumlah 5.068 kasus perbedaan data antara pusat dengan Kota Depok," kata Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana, Kamis kemarin.
Sebagai informasi, selisih 5.068 kasus Covid-19 berdasarkan data pada Selasa lalu. Kala itu, Depok mencatat total 18.514 kasus, 14.450 pasien sembuh, dan 441 pasien meninggal.
Sementara itu, data Kemenkes hanya mencatat total 13.446 kasus Covid-19 di Depok, 10.679 sembuh, dan 204 meninggal.
Itu berarti, selain ada selisih 5.068 kasus positif Covid-19 (27 persen), ada selisih 3.771 pasien sembuh ( 26 persen). Selisih terbesar terjadi pada kasus Covid-19 berujung kematian di Depok, selisihnya 237 kasus (54 persen).
2. Terdeteksi sejak Oktober, Pemprov Jabar tak intervensi
Selisih kasus Covid-19 antara Depok dengan pemerintah pusat sudah terdeteksi sejak lama. Pada Oktober 2020, ketika selisih data masih 600-an kasus, Depok sudah meminta agar dilakukan rekonsiliasi data.
"Hal ini sudah dikomunikasikan sejak bulan Oktober tahun 2020 kepada satgas provinsi. Karena, pengendali data ada di provinsi, yaitu Pikobar (Pusat Informasi Korona Jawa Barat)," kata Wali Kota Depok, Mohammad Idris, melalui keterangan video kepada wartawan, Kamis.
"Kami juga sudah komunikasi dengan Pusdatin Kemenkes (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan) dan Pusdatin Kemenkes sudah siap melakukan bridging data antar pusat dengan Depok," ujar dia.
3. Ditawari pakai dua data: data publikasi dan real-time
Dalam sengkarut pelaporan itu, Dadang mengungkapkan bahwa pihaknya pernah diminta agar menggunakan dua data, yakni data untuk publikasi dan data real-time.
Ia tak menjelaskan lebih jauh konteks permintaan ini, oleh siapa, kapan, dan untuk kepentingan apa.
"Pada saat yang lalu kami, kabupaten/kota, diajak ataupun diminta mengikuti data rilis yang sama dengan pemerintah pusat untuk kepentingan publikasi, diarahkan untuk menggunakan 2 data, data published (publikasi) dan data real-time, tetapi Kota Depok tidak bisa memenuhi itu," ujar Dadang.
"Kota Depok tetap paradigmanya menggunakan data real-time. Yang Kota Depok publish adalah data real-time karena ini menyangkut keselamatan manusia," tambah dia.
4. Pemprov Jabar tak intervensi, kini didesak beri akses rekonsiliasi data
Ketika niat rekonsiliasi data antara Depok dan nasional hendak dieksekusi, pihak Provinsi Jawa Barat disebut tak memberi akses. Padahal, menurut keterangan Dadang maupun Idris, Pikobar Jawa Barat memegang peran krusial dalam masalah pelaporan data itu.
Akhirnya, selisih data Depok dan nasional terus membengkak sampai sekarang.
"Ketika implementasinya, informasi dari Kemenkes, Pikobar belum memberikan akses. Kami koordinasi dengan satgas provinsi dan sampai hari ini belum ada tindak lanjut penyelesaian," ungkap Dadang.
"Kami mohon kepada provinsi dalam hal ini Pikobar untuk memberikan akses. Kalau ini didiamkan secara terus-menerus, gap (selisih) data akan makin tinggi," ujarnya
5. Kebijakan terancam jadi tak akurat
Lantaran penanganan pandemi di Depok dilakukan tak hanya oleh pemerintah kota, tetapi juga oleh provinsi dan pusat, dualisme data itu dikhawatirkan berdampak pada pengambilan kebijakan yang tak akurat.
Dadang memberi contoh, penentuan zona risiko daerah (hijau, kuning, oranye, merah) termasuk kepada Kota Depok yang dilakukan oleh Satgas Covid-19 RI mengacu pada data pemerintah pusat.
Padahal, seperti yang sudah dijelaskan, data pemerintah pusat jauh lebih kecil ketimbang situasi sebetulnya yang dipantau langsung oleh Pemerintah Kota Depok secara real-time, dan tidak mencerminkan situasi wabah terkini.
"Bereskan dulu, rekonsiliasi data pusat dan daerah agar lebih akurat. Karena pusat menghitung zona resiko daerah dengan data yang lebih sedikit dibanding yang real-time," kata Dadang.
"Kami hanya meminta provinsi terutama Pikobar memberikan akses kepada pusat. Mari kita gunakan data real-time sesuai kasus yang terjadi di daerah," lanjutnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/01/08/07155841/serbaneka-selisih-data-covid-19-depok-dan-nasional-saat-pandemi-sudah-10