Salin Artikel

Kegundahan Amelia, Dokter yang Terpaksa Memilih Pasien karena Ruang ICU Khusus Covid-19 Penuh

DEPOK, KOMPAS.com - Pada Senin (25/1/2021), Dokter Amelia Martira meluapkan perasaannya dalam sebuah utas di akun Twitter pribadinya, @irasjafii. Ceritanya kemudian menjadi viral.

Dalam delapan cuitan, Amelia membagikan kisahnya ketika melakukan intubasi kepada pasien Covid-19.

Menurut situs Alo Dokter, intubasi adalah prosedur medis untuk memasukkan alat bantu napas berupa tabung ke dalam tenggorokan.

"Hal yang paling enggak enak dari intubasi pasien Covid-19 adalah pasiennya masih sadar dan gue harus minta izin langsung ke pasien. Pasien yang gue intubasi hari ini mengiyakan dan gue hanya bisa bilang sabar ya pak, doa ya.. Terus segera gue juga berdoa dan menguatkan diri supaya enggak sedih," tulis Amelia pada cuitan pertamanya dalam utas tersebut.

"Utamanya saya bekerja di kamar operasi dan ICU (Intensive Care Unit). Tugas harian saya merawat pasien Covid-19 baik yang menjalani anestesi pada pembedahan maupun pasien yang bergejala berat hingga kritis," beber Amelia.

Amelia menegaskan, kondisi di rumah sakit tempat ia bekerja sama dengan situasi di banyak rumah sakit yang menangani pasien Covid-19, yakni ketersediaan tempat tidur isolasi dan ICU semakin tipis dan bahkan penuh.

"Sebagaimana umumnya kondisi di rumah sakit saat ini. Tempat tidur isolasi maupun ICU penuh. Pasien yang terus datang tetap diterima. Hanya, tentu saja (pelayanan) akan stagnan di IGD (Instalasi Gawat Darurat) hingga kamar isolasi atau ICU tersedia. Akibatnya, memang overcrowded terjadi di IGD," jelasnya.

Terpaksa memilih pasien sesuai skala prioritas

Dalam satu cuitannya yang viral, Amelia mengisahkan bahwa dirinya baru terpaksa memilih salah satu di antara dua pasien Covid-19.

"Pandemi Covid-19 ini memberikan perasaan enggak karu-karuan. Kadang harus memilih pasien mana yang harus masuk duluan karena bed ICU cuma tersisa satu. Kemarin gue memilih seorang bapak, kepala keluarga, usia 47 tahun untuk masuk ICU lebih dulu dibanding seorang ibu usia 72 tahun. Maafkan saya ya, Bu," kicau Amelia.

Dia kemudian memaparkan kicauannya lebih lengkap kepada Kompas.com.

"Sebenarnya, sebagaimana panduan ICU pada umumnya, indikasi masuk ICU itu memang memiliki skala prioritas. Hal ini dikarenakan memang keterbatasan tempat tidur ICU. Sesuai dengan standar RS, ICU itu disiapkan 5 persen dari jumlah tempat tidur. Jika RS memiliki 100 tempat tidur, maka harus disediakan minimal 5 buah untuk ICU," jelas Amelia.

"Pertimbangan yang digunakan adalah standar profesi, kebutuhan medis pasien, dan nilai-nilai yang dianut pasien. Oleh karena itu, ada disebut kriteria masuk sebagaimana diatur dalam Kepmenkes 1778/2010. Kepmenkes sebagai panduan, tetapi untuk memutuskan, kita juga mempertimbangkan faktor etika dan standar prosedur," paparnya.

Amelia juga menjelaskan bahwa untuk kasus Covid-19 yang membutuhkan ICU tetapi belum tersedia, pelayanan intensif dilakukan di IGD.

"Hanya saja, kapasitas IGD juga terbatas," katanya.

Rasa bersalah

Dalam cuitannya yang lain, Amelia lebih dalam mengungkapkan perasaannya selama menangani pasien Covid-19.

"Pernah dalam satu hari beberapa pasien meninggal dalam waktu hampir bersamaan. Dengan perasaan 'biasa', gue segera hubungi IGD untuk segera pindahkan ke ICU, pasien yang telah ngantri berhari-hari. Kesedihan satu keluarga memberikan harapan ke keluarga lain. Boleh dibilang (saya) enggak sempat sedih," ujar Amelia.

"Kadang setelah memasang ventilator ke pasien dan kondisinya tak kunjung membaik juga. Terlintas dalam pikiran, 'Ya Allah, bener ga ya keputusan gue untuk pasang ventilator. Pasien juga percaya gue memberikan keputusan terbaik'. Saat itu, gue sih masih biasa aja. Tapi...

Kalau sudah malam menjelang tidur, saat gue mulai overthinking; hal ini bikin gw merasa bersalah. Ini saatnya gue merasa amat-amat sangat kecil sebagai manusia, yang ga tau apa-apa," lanjutnya.

Kepada Kompas.com, Amelia menjelaskan bagaimana sisi profesionalisme sebagai dokter harus menutupi perasaannya sebagai manusia biasa.

"Sebagai dokter yg bekerja di area kritis dan akhir kehidupan, memang kita dilatih untuk menyiapkan fisik dan mental. Termasuk bagaimana berkomunikasi dengan pasien dan keluarga dan menghargai nilai-nilai yang dimiliki keluarga. Kita juga dilatih untuk berempati, tetapi tetap menjaga profesionalisme agar tetap bisa fokus dan objektif.

Hanya saja, sebagai manusia, jika harus berhadapan dengan situasi pandemi yang enggak pernah dihadapi sebelumnya, pertahanan mental juga bisa runtuh," kata Amelia.

Menurut Amelia, para dokter terkadang butuh dibantu oleh dokter psikiatri atau psikolog guna menopang mental mereka selama menangani pasien Covid-19.

"Saya sendiri secara pribadi memang belum meminta bantuan teman sejawat. Namun, saya dari awal (pandemi) sudah menyadari risiko burn out yang mungkin terjadi," ucapnya.

Untuk mengatasi kelelahan baik fisik maupun mental, Amelia sejauh ini punya berbagai hal yang dapat dilakukan seperti berbagi cerita dengan para sahabatnya, menonton, mendengarkan musik, hingga bermain bersama keluarga sembari tetap optimistis mengikuti perkembangan terbaru perihal Covid-19 dari jurnal kedokteran.

"Juga tawakal. Saya terus meyakini bahwa hidup adalah tempat berusaha melakukan yang terbaik dengan niat yang baik," katanya.

Masyarakat, tolong bantu para tenaga kesehatan

Dengan meningkatnya jumlah kasus Covid-19 di Jabodetabek, Amelia hanya bisa berharap masyarakat bisa kembali disiplin melaksanakan protokol kesehatan.

"Bulan Juni-Juli 2020 itu kasus Jabodetabek sangat rendah. Saat itu, masyarakat disiplin menjaga, tidak berkerumun, mobilitas dan interaksi dibatasi, serta selalu menggunakan masker. Alangkah baiknya kita mengulang hal itu lagi. Bersabar adalah kunci," ujar Amelia.

Amelia pun meminta masyarakat jangan sampai lelah bersabar.

"Bosan, lelah, masalah ekonomi adalah masalah kita semua, termasuk dunia. Namun, kalau kita lelah bersabar sekarang, maka pandemi ini akan sangat panjang dan keterpurukan kita di kesehatan dan ekonomi semakin dalam. Kurangi interaksi dengan banyak orang, jangan jadikan diri kita sumber penular bagi keluarga dan kerabat lainnya," tuturnya.

Dengan mematuhi protokol kesehatan, kata Amelia, artinya masyarakat turut membantu pekerjaan para tenaga medis.

"Kami tenaga kesehatan tidak akan berhenti bekerja, terus melayani tetapi alangkah baiknya jika masyarakat membantu pekerjaan kami agar menjadi maksimal dengan bersama menurunkan jumlah kasus covid-19. Dengan begitu, masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan baik Covid maupun non-Covid akan terlayani semua dengan baik tanpa mengalami hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan," tutupnya.

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/01/27/06000041/kegundahan-amelia-dokter-yang-terpaksa-memilih-pasien-karena-ruang-icu

Terkini Lainnya

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Rute KA Argo Cheribon, Tarif dan Jadwalnya 2024

Megapolitan
Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Polisi Grebek Laboratorium Narkoba di Perumahan Elite Kawasan Sentul Bogor

Megapolitan
Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Bau Sampah Terasa Menyengat di Lokbin Pasar Minggu

Megapolitan
Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Ini Tujuan Benyamin Ikut Penjaringan Bakal Cawalkot Tangsel di Tiga Partai Rival

Megapolitan
Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Usaha Dinsos Bogor Akhiri Perjalanan Mengemis Rosmini dengan Telusuri Keberadaan Keluarga

Megapolitan
Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Pembunuh Perempuan Dalam Koper Sempat Tinggalkan Jasad Korban di Hotel

Megapolitan
Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Dipecat karena Dituduh Gelapkan Uang, Ketua RW di Kalideres: Buat Apa Saya Korupsi Kalau Datanya Lengkap

Megapolitan
Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Sudah Sepi Pembeli, Uang Retribusi di Lokbin Pasar Minggu Naik 2 Kali Lipat

Megapolitan
Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Benyamin-Pilar Kembalikan Berkas Penjaringan Pilkada Tangsel, Demokrat Sambut dengan Nasi Kebuli

Megapolitan
Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Sehari Berlalu, Remaja yang Tenggelam di Kali Ciliwung Belum Ditemukan

Megapolitan
Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Polisi Masih Observasi Kondisi Kejiwaan Anak yang Bacok Ibu di Cengkareng

Megapolitan
Pedagang Sebut Lokbin Pasar Minggu Sepi karena Lokasi Tak Strategis

Pedagang Sebut Lokbin Pasar Minggu Sepi karena Lokasi Tak Strategis

Megapolitan
Ini Kantong Parkir Penonton Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Irak U-23 di Monas

Ini Kantong Parkir Penonton Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Irak U-23 di Monas

Megapolitan
Golkar Depok Ajukan Ririn Farabi Arafiq untuk Maju Pilkada 2024

Golkar Depok Ajukan Ririn Farabi Arafiq untuk Maju Pilkada 2024

Megapolitan
Jasad Bayi Tergeletak di Pinggir Tol Jaksel

Jasad Bayi Tergeletak di Pinggir Tol Jaksel

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke