Ketua Koordinator Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara) Mukroni mengatakan, sebagian besar pemilik warteg, khususnya di Jakarta, memilih tutup karena tak sanggup membayar sewa tempat.
"Itu kan karena teman-teman realistis ya, dengan kondisi sewa yang cukup mahal dia memilih alternatif melakukan pengurangan usahanya. Ada juga yang tutup, 63 persen kami tutup," kata Mukroni, Sabtu (23/1/2021) lalu.
Beberapa dari mereka ada yang pindah ke pinggiran Jakarta, seperti Bogor, Depok dan Bekasi. Namun ada juga yang pulang ke kampung halaman.
"Membayar kontrak yang di Jakarta kan lebih mahal dibandingkan yang di tepi (pinggiran) dan harganya cukup jomplang jadi warteg-warteg ini pindahnya ke pinggiran, kayak Bekasi, Depok, ada juga yang kembali ke kampung," ujar dia.
Menurut Mukroni jumlah warteg telah berkurang sejak 2019. Pandemi Covid-19 memperburuk kondisi ekonomi para pengusaha warteg itu.
Alih profesi
Demi memenuhi kebutuhan ekonomi, para pemilik warteg yang gulung tikar ini terpaksa beralih profesi. Beberapa dari mereka ada yang menjadi kuli panggul, tukang ojek hingga kembali bertani di kampung halaman.
"Ada yang alih profesi kayak ojek online, ke transportasi, kalau yang di kampung ada yang jadi petani, ada kuli bangunan," ujar Mukroni.
"Terus ya lamar-lamar kerja, ke warteg yang masih buka jadi yang tadinya dia pengusaha jadi karyawan ke warteg yang masih buka," lanjutnya.
Salah satu pengusaha warteg, Warmo, terpaksa menutup tiga wartegnya di kawasan Halim, Jakarta Timur karena kehilangan banyak pelanggan. Ia memilih pulang kampung dan menggantungkan hidupnya dengan menjadi kuli bangunan.
"Sebelumnya (pekerjaannya) ganti-ganti, maksudnya kalau ada nyuruh ikut, untuk menyambung hiduplah. Sekarang lagi jadi kuli bangunan, saya dapat Rp 100.000 per hari sama uang makan Rp 20.000," ucap Warmo.
50 persen terancam gulung tikar
Mukroni menyatakan, sekitar 50 persen atau 20.000 unit warteg di Jabodetabek bakal gulung tikar tahun ini.
"Sekarang ini sampai 50 persen yang bakal pulang," kata Mukroni.
Menurut Mukroni, pada akhir tahun lalu sudah banyak pemilik warteg yang memutuskan untuk tutup usaha.
"Selama 2020, saya menghitung sekitar 25 persen dari total warteg yang ada di Jabodetabek pulang," lanjutnya.
Namun, jumlah tersebut meningkat tahun ini. Pasalnya, para pemilik warteg harus memperpanjang sewa bangunan di awal tahun.
"Ini yang berat, mereka tahun ini harus perpanjang kontrak sewa," kata Mukroni.
Pada sisi lain, omset warteg hingga tak kunjung membaik.
Mukroni menilai, daya beli masyarakat yang menurun drastis menjadi penyebab tutupnya warteg-warteg itu.
"Karena daya beli masyarakat mengalami penurunan, mereka yang tadinya makan ayam sekarang telur. Kadang mereka menghemat. Menandakan perekenomian di bawah ini semakin susah, jadi pendapatan kami juga mengalami penurunan," tutur Mukroni.
Ia mengatakan, beberapa kebijakan pemerintah selama masa pandemi Covid-19 juga menjadi tantangan tersendiri bagi para pengusaha warteg. Dia tak lagi menjual makanan karena pelanggannya yang kebanyakan mahasiswa tidak lagi datang ke kampus.
"Saya juga terdampak karena saya kan wartegnya dekat kampus. Kampus libur, yang tadinya jual makan jadi jual minuman aja," ujar Mukroni.
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/01/28/09203481/warteg-pun-ikut-terdampak-pandemi-covid-19