Salin Artikel

Deny Manusia Got, Markesot, dan Hasil yang Tidak Selalu Mengikuti Usaha

JAKARTA, KOMPAS.com - Sapron mengatakan kepada temannya bahwa pernyataan terbaik yang pernah diungkapkan oleh Markesot selama puluhan tahun ia bergaul dengannya adalah “Dilarang memahami Markesot”.

“Kalau orang dilarang memahami, kenapa dia omong?” temannya balik bertanya.

“Cak Sot (Markesot) pernah ngobrol sama saya. Kata dia, omongan itu seperti tanaman. Masuknya kata, kalimat, atau susunan makna dari mulut orang ke telinga dan otak atau roso kita itu, bersifat seperti bermacam-macamnya biji tanaman."

“Ah, sok filosofis memang ya dia itu”, sela temannya.

“Kata Cak Sot, orang hidup tidak bisa mengelak dari filsafat, meskipun tidak setiap orang perlu menjadi ahli filsafat. Narik becak saja harus ada landasan filsafatnya, yang tercermin pada pemahamannya kenapa dia narik becak, niatnya apa, manfaatnya apa."

“Memang Cak Sot pernah mengalami narik becak?”

Markesot bukan penarik becak. Ia tokoh rekaan budayawan Emha Ainun Nadjib.

Begitu istimewanya Markesot sampai Cak Nun --sapaan akrab Emha-- menjadikannya tokoh utama sekaligus judul beberapa buku, semisal yang paling kondang: Markesot Bertutur.

Mulut Markesot acap dipinjam Cak Nun buat melancarkan kritik-kritik sosial. Sosoknya kerap misterius, namun di lain momen ia sekaligus cerdas, filosofis, serta sarat perenungan spiritual.

Markesot dalam rekaan Cak Nun memang tak pernah menarik becak. Namun, "Markesot" di Bekasi yang kisahnya menanti Anda baca ini justru penarik becak sungguhan. Ia juga punya kedalaman spiritual yang sepadan.

Nama aslinya Deny Kurniawan. Ia merantau bersama istrinya dari Bogor pada 2010 silam. Tiba di Stasiun Cakung, ia jalan kaki ke Bekasi dan mengais apa pun yang bisa dikerjakan di sana. Lambat-laun, tumbuh kesadaran bahwa ia harus "mencari uang", bukan lagi sekadar "mencari kerja". Ia memutuskan menarik becak.

Pekerjaannya sebagai penarik becak berlangsung biasa-biasa saja hingga pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia tahun lalu dan merampas semuanya, termasuk mata pencaharian satu-satunya Deny itu.

"Hilang. Hilang semua sudah," tutur Deny kala berbincang dengan Wisnu Nugroho, Pemimpin Redaksi Kompas.com, Senin (15/3/2021).

Anak-anak sekolah, ibu-ibu sepulang pengajian, tak lagi menumpang becaknya karena pandemi.

Manusia got

Pandemi dengan bengis merampas nafkah Deny sebagai penarik becak, namun tetap tak mampu merampok rezekinya. Rezeki, seperti yang diyakini Deny, bersumber dari Tuhan. Tuhan tak mungkin dirampok.

Rezeki yang dinanti itu akhirnya mampir ke mukanya begitu seorang ketua RT di Pondok Cipta, Bekasi Barat, menawarinya pekerjaan menguras got.

Dalam situasi finansial yang terasa menjepit, peluang itu langsung ia sambar. Meski nihil pengalaman, Deny membenamkan diri ke gorong-gorong, berkubang dalam hitamnya air got yang berlumpur, tanpa pikir panjang.

"Ya sudah, nekat. Wah, badan itu... Nyebur saja. Di sini (sela-sela jari tangan) kutu air, berdarah-darah," kenangnya.

Deny melakoni kerjanya dengan total. Gorong-gorong ia jelajahi hingga sumber sumbatan dapat diatasi.

Panggilan menguras got lantas silih-berganti menghampirinya di tengah pandemi yang mencekik banyak orang.

Deny setia menjawab panggilan-panggilan itu dengan kerja yang memuaskan. Popularitasnya sebagai penguras got jempolan terus menggelinding hingga kini ia dijuluki "Deny Manusia Got".

Belakangan, ia mengajak tiga kawannya --penjual kopi dan pemulung-- untuk ikut bersamanya memenuhi permintaan menguras got yang berdatangan. Deny lalu menamakan diri mereka: Markesot.

"(Markesot) saya yang bikin, (artinya) 'mari kita ngesot'," ujar Deny, senyumnya lebar.

"Kita masuk ke gorong-gorong, ada kepiting masuk, ada belut masuk, gerak-gerak, kita keluar sampai ngesot-ngesot. Dari yang tadinya tiarap (di dalam gorong-gorong), jadi ngesot-ngesot. Itu perjuangan kita mencari nafkah."

Yang ditemui Markesot di dalam gorong-gorong yang lembap dan bau bukan cuma kepiting, belut, ular, kelabang, maupun aneka satwa imut lainnya; melainkan juga pelbagai barang yang mestinya tak bersemayam di situ: dari tusuk sate, spanduk, bambu, sampai kondom dan TV tabung.

Belum cukup, Markesot juga mesti bertungkus-lumus menghindari benda-benda tajam siap melukainya dalam gelap, seperti beling yang akhirnya menancap ke kaki Deny usai ia bertugas pada 20 Januari 2021 silam.

Itu sebabnya Markesot laris-manis dan terus disibukkan oleh permintaan menguras gorong-gorong yang aroma lumpurnya saja bakal bikin orang menjauh.

"Enaknya kita enggak ada saingan. Minim lho saingannya kita, siapa yang mau? Ya, kan?" kata Deny.

Walau Markesot jadi pemain tunggal di "pasar" ini, bukan berarti Deny lantas kaya mendadak lantaran dapat memasang tarif sundul langit.

Markesot kerap menerima panggilan menguras got untuk 1 RT sekaligus. Biasanya, setiap KK urun dana masing-masing Rp 100.000. Pekerjaan rata-rata baru rampung setelah 7 hari.

Anggaplah ada 60 KK di RT tersebut, maka Markesot meraup Rp 6 juta.

"Itu pun masih dipotong Rp 300.000 buat makan," sela Deny.

Sisa Rp 5,7 juta harus dipotong lagi Rp 1 juta untuk membeli karung. Selembarnya Rp 2.000 dan Markesot butuh sedikitnya 500 lembar karung.

Setelahnya, mereka kudu menyewa mobil pikap berkapasitas 50 karung, dengan ongkos Rp 150.000 sekali jalan. Itu artinya, butuh 10 rit, atau setara Rp 1,5 juta, untuk membuang seluruh karung berisi lumpur tadi.

Tersisa Rp 2,8 juta dan itu lah jatah mereka berempat.

Masing-masing dari mereka lalu akan menyisihkannya lagi untuk membeli vitamin agar tetap bugar selama seminggu bersitungkin dengan air limbah. Lain waktu, mereka mesti menyetok bedak pengusir gatal.

Selesai di sana? Tidak

Markesot lagi-lagi harus belanja keperluan "dinas" lain, yaitu satu jeriken oli bekas dari bengkel terdekat dan minyak tanah. Cairan-cairan itu akan dibaluri ke sekujur tubuh, termasuk muka dan selangkangan, sebelum mereka mencelupkan diri ke gorong-gorong.

"Kayak kebakar lho, kalau kena lumpur got. Coba saja," ungkap Deny soal khasiat oli dan minyak tanah itu.

Selesai di sana? Lagi-lagi, belum.

Pekerjaan ini masih menyisakan satu hal yang mesti dibayar mahal oleh Deny. Bau comberan tak kunjung lindap dari badannya sampai 2 pekan, kendati ia setiap hari mandi.

"Pekerjaan ini yang paling mahal itu cuma satu: sampai saya harus pisah ranjang sama istri," ujarnya.

Istrinya kini tinggal di Bogor. Di sana, ia mengasuh 3 anak mereka. Si sulung kini memasuki semester 7 berkuliah. Anak keduanya baru saja tamat SMK dan yang ketiga beranjak ke bangku SMP.

Usaha tak harus sebanding dengan hasil dan kita sebaiknya ikhlas dengan itu

Baik Markesot penguras got maupun Markesot sosok misterius rekaan Cak Nun, dua-duanya sama-sama menyiratkan soal kerja yang didasari pada filosofi hidup.

"Kalau kita narik becak tanpa filosofi hidup yang jelas, misalnya niat mensyukuri anugerah badan sehat, atau mencari nikmatnya membanting tulang untuk menghidupi anak istri, kita jadi mudah lelah," kata Markesot-nya Cak Nun.

Lalu, filosofi jenis apa yang membuat Deny dan Markesot-nya tidak mudah lelah, walau dikepung segala nelangsa di gorong-gorong? Bagaimana bisa ia berdamai dengan lancipnya beling di dasar parit atau tajamnya cibiran orang-orang di luar?

"Saya ingat keluarga di rumah. Ingat istri, ingat anak saya. Saya lebih enggak tega lihat anak-istri saya enggak makan," sebut Deny. 

"Saya juga takut (Covid-19), tapi ya itu tadi. Lebih takut lihat anak-istri saya enggak makan. Walaupun kita kena, positif, anggap saja itu jihad. Jihad yang sesungguhnya ya seperti itu, menafkahi keluarga sampai nyawa taruhannya."

Sedari mula, Deny berangkat menuju medan perang berbekal satu-satunya senjata yang ia punya: ikhlas. Kepahitan toh bukan baru kali ini mengujinya. Tahun lalu, tepat saat Deny berulang tahun ke-43, anak bungsunya wafat, 4 jam setelah kelahirannya yang prematur.

"Mungkin Gusti Allah lebih sayang dia," ucap Deny dengan nada ketulusan yang menyemburat.

Satu yang membuatnya tegar adalah ia, berkebalikan dengan pepatah-pepatah tenar, ikhlas menerima kenyataan jika hasil tidak selalu mengikuti usaha. Tak selamanya, seseorang mampu mengendalikan apa yang kelak akan terjadi kepada dirinya sendiri.

"Usaha, kan urusannya sama makhluk. Hasil, urusannya sama Gusti Allah," tutur Deny soal kredo hidupnya.

"Makanya, yang dihisab (diperhitungkan) bukan hasilnya, tapi amalan kita, usaha kita, bukan hasil yang dilihat. Hasilnya, ya efek (dari usaha) saja. Dia kan yang nentuin (hasilnya), Gusti Allah. Usaha kita ini, seperti apa yang ditunjukkan?"

Usaha itu sudah ia tunjukkan dengan bergelung bersama Markesot, got, dan segala risikonya. Ia tak perlu membuktikan apa-apa lagi dan ia pantang meratap.

Bagi Deny, tak perlu anak-anaknya, istrinya, tahu mengenai apa-apa saja nelangsa yang menderanya. Ia enggan menyusun daftar keluhan atas serbaneka kesusahan yang datang bertubi-tubi di gorong-gorong.

Walaupun bayaran yang mampir ke kantongnya, dinilainya tak sepadan dengan segala jerih-payah dan bahaya yang mungkin menimpa, Deny santai saja.

Seperti kata Markesot, seseorang hanya perlu menghayati filosofi supaya tidak mudah lelah. Dan setiap rasa lelah menghampiri, yang perlu dilakukan Deny cuma mengingat lagi kredo hidupnya.

Usaha tak selalu mengikuti hasil. Andai hasilnya baik, itu hanya efek dari usaha belaka, bukan sebuah tujuan.

"Tempat mengadu yang paling bagus itu, ya, sama Tuhan," ucap Deny.

"Saya mungkin, ya, nobody. Bukan siapa-siapa, Mr Nobody. Saya cuma berusaha. Saya seorang ayah beranak 3 yang mencoba survive."

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/03/19/07103411/deny-manusia-got-markesot-dan-hasil-yang-tidak-selalu-mengikuti-usaha

Terkini Lainnya

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi 'Penindakan'

Taruna STIP Tewas Dianiaya, Polisi Ungkap Pemukulan Senior ke Junior Jadi Tradisi "Penindakan"

Megapolitan
Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Empat Taruna STIP yang Diduga Saksikan Pelaku Aniaya Junior Tak Ikut Ditetapkan Tersangka

Megapolitan
Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Motif Pelaku Aniaya Taruna STIP hingga Tewas: Senioritas dan Arogansi

Megapolitan
Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Penyebab Utama Tewasnya Taruna STIP Bukan Pemukulan, tapi Ditutup Jalur Pernapasannya oleh Pelaku

Megapolitan
Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Polisi Tetapkan Tersangka Tunggal dalam Kasus Tewasnya Taruna STIP Jakarta

Megapolitan
Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Hasil Otopsi Taruna STIP yang Tewas Dianiaya Senior: Memar di Mulut, Dada, hingga Paru

Megapolitan
Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Akhir Penantian Ibu Pengemis yang Paksa Orang Sedekah, Dua Adiknya Datang Menjenguk ke RSJ

Megapolitan
Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Polisi Sebut Ahmad dan RM Semula Rekan Kerja, Jalin Hubungan Asmara sejak Akhir 2023

Megapolitan
Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Praktik Prostitusi di RTH Tubagus Angke Dinilai Bukan PR Pemprov DKI Saja, tapi Juga Warga

Megapolitan
Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Keluarga Harap Tak Ada Intervensi dalam Pengusutan Kasus Mahasiswa STIP yang Tewas Dianiaya Senior

Megapolitan
Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Pro-Kontra Warga soal Janji Dishub DKI Tertibkan Juru Parkir, Tak Keberatan jika Jukir Resmi

Megapolitan
Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Mahasiswa STIP Tewas Dianiaya Senior, Pengawasan dan Tata Tertib Kampus Jadi Sorotan

Megapolitan
Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Hari Ini, Polisi Lakukan Gelar Perkara Kasus Mahasiswa STIP Tewas Diduga Dianiaya Senior

Megapolitan
Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Usul Heru Budi Bangun “Jogging Track” di RTH Tubagus Angke Dinilai Tak Tepat dan Buang Anggaran

Megapolitan
Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Polisi Sebut Pembunuh Wanita Dalam Koper Tak Berniat Ambil Uang Kantor yang Dibawa Korban

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke