Salin Artikel

Jejak Ribuan Tahun Jakarta sebagai Kota Pohon dan Air

KOMPAS.com - Sejarawan JJ Rizal menulis, air kerap menjadi tema utama prasasti-prasasti tertua di Indonesia, tidak terkecuali di Jakarta.

Pada 1911, di Kampung Batu Tumbuh dekat Gereja Tugu, Jakarta Utara (Jakut), ditemukan prasasti yang menceritakan bahwa suatu “kali yang bagus dengan air bersih digali”.

"Prasasti dari abad kelima tersebut menyebut Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara yang memerintahkan menggali sungai sepanjang 11 kilometer (km)," dikutip dari tulisannya yang berjudul Jejak Ribuan Tahun Kota Pohon dan Air, Kamis (3/2/2022).

Prasasti tertua di Jakarta itu sering disebut-sebut memberi penjelasan perihal upaya memanen air untuk menanggulangi banjir saat musim hujan dan menyediakan pasokan air kala musim kering, sekaligus sebagai jalur transportasi perahu dari Kali Cakung ke Kali Bekasi.

Jauh lebih luas lagi prasasti itu, jika melihat tongkat trisula yang memisahkan awal dan akhir tulisan berhuruf “wengi” dalam bahasa Sansekerta menyimpulkan leluhur di masa lalu memahkotai air sebagai pusat sesembahan karena merupakan awal dan penggerak kehidupan.

Semua itu bukan sekadar upaya Purnawarman membawa ajaran Hindu bahwa air mengalirkan energi karena di dalamnya bersemayam dewa-dewa.

Air pula yang menyimpan kemampuan untuk membasuh mala (nasib buruk) dan klesa (dosa).

Lebih jauh, ia sedang mewanti-wanti bagaimana seharusnya mengelola sebuah kawasan kekuasaannya yang secara geografis adalah ruang air.

Sebab, salah memahami justru berakibat sebaliknya, bukan nasib baik dan pahala yang datang, melainkan nasib buruk dan dosa.

Kedatangan orang Belanda

Rizal melanjutkan, nasib buruk dan dosa itulah yang terjadi selang seribu tahun kemudian, ketika orang Belanda datang dan membangun Kota Batavia di atas reruntuhan kota bandar Jayakarta.

Mereka meminta Simon Stevin, seorang ahli matematika, fisika, dan insinyur militer Flemish untuk merancang sebuah kota pusat markas dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dengan mengikut rancangan kota Belanda abad ke-17.

Kota dibuat dengan banyak kanal-kanal yang mengambil air dengan sodetan dari Ciliwung. Kala itu, Batavia dipuja-puji dalam banyak laporan sebagai kota paling indah.

Bahkan, Christopher Fryke yang mengunjungi Batavia pada 1680-an mengatakan kota ini lebih indah daripada Kota Amsterdam yang ditirunya.

Akan tetapi, keindahan itu mulai bermasalah sejak 1730. Saat musim hujan tiba, sering terjadi banjir dan musim kering menyebabkan krisis air.

Para ahli kesehatan kala itu menyebut penyebab dari masalah tersebut adalah kanal-kanal.

Dari sana muncul kabut beracun, hingga penyakit-penyakit aneh seram dan mematikan yang meneror. Mereka menyalahkan erupsi Gunung Salak pada 1699 yang menimbulkan pelumpuran di kanal-kanal.

Kemasyuran Batavia sebagai Ratu di Timur pun rontok dan menyisakan bangunan bak kuburan di Timur. Para elite kaya mulai pindah ke selatan untuk menghindari banjir, mencari air bersih, dan udara sehat.

Puncaknya pada 1800, Batavia ditinggalkan diiringi dengan kutukan sebagai Oud Batavia. Kata yang merangkum segala hal buruk di kota itu.

Mereka tak tahu akar bencana itu, tetapi para sejarawan kemudian mencatatnya sebagai bencana ekologi, malapetaka karena dosa merusak alam.

Nafsu rakus telah membuat mereka lupa dan merusak sungai serta hutan tropis yang menghiasi laporan orang-orang Eropa pertama yang mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa pada abad ke-16.

Peta-peta menjelaskan dulunya Batavia adalah kota air. Kawasan ini dilalui begitu banyak sungai. Inilah kunci asal kutukan keruntuhan Batavia.

Dimulai ketika gula menjadi primadona ekonomi dan membuat elite penguasa VOC berlomba-lomba menanamkan uang hasil korupsi mereka di kawasan ommelanden atau luar kota benteng Batavia.

Mereka membabat hutan-hutan untuk perkebunan tebu dan pabrik gula, terutama di tepi-tepi sungai. Namun, karena kalah bersaing, harga serta ekonomi gula runtuh, maka perkebunan dan pabrik gula ditinggalkan begitu saja.

Dampak dari membabat hutan-hutan tersebut membuat lingkungan menjadi rusak. Akibat buruk eksploitasi pun masuk kota Batavia melalui sungai-sungai yang menjadi sumber air kanal-kanal yang juga sudah menjadi tong sampah rumah tangga juga kotoran.

Demikianlah dosa ekologi membuat air menjadi nasib buruk. Mereka berusaha menanggulangi banjir, pelumpuran, krisis air, dan epidemi penyakit menyeramkan, bahkan berdoa. Akan tetapi malang tak bisa dicegah karena tidak cukup pengetahuan untuk memahaminya.

Apakah ketika mereka pindah membangun Nieuw Batavia di sekitar Gambir, lalu belajar agar bencana tak kembali?

Susan Blackburn dalam Sejarah Jakarta 400 Tahun mengungkapkan, pelajaran itu mereka mulai dari bencana banjir yang tak juga lenyap.

Tidak seperti di Oud Batavia, semangat menanggulangi banjir di Nieuw Batavia semangat kendor. Banjir sering tidak berhasil membangunkan pemerintah dari kelambanan merancang usaha sistematik untuk menanggulanginya.

Meski lamban, mulai 1911 sampai 1921, pemerintah kota (pemkot) meminta insinyur sipil, Herman van Breen mencari solusi banjir di dalam kota dan sekitarnya.

Herman mengusulkan pembangunan sistem kanal besar yang menghubungkan Sungai Krukut dengan Ciliwung.

Daan van der Zee kemudian Muhammad Husni (MH) Thamrin mendukung serta jadi pembicaraan di Dewan Kota. Sementara Breen diperintahkan membuat rencana dan hasilnya suatu master plan penyelesaian banjir yang jauh lebih maju.

Master plan tersebut dirasa lebih baik dibanding rencana kota saat itu yang hanya terkonsentrasi di Menteng dan Weltevreden dengan 430.000 jiwa penduduk.

Evaluasi kanal banjir

Pada 1923, Herman van Breen mengevaluasi sistem kanal banjir yang kurang maksimal disebabkan dua hal.

Pertama, pemerintah menghadapi rencananya dengan sifat kruidenier atau tukang kelontong yang pelit, sehingga hanya terlaksana sepotong-sepotong, seperti kanal banjir dari Matraman sampai Muara Angke.

Alhasil semua rencana terlambat dan tidak lagi sesuai dengan perkembangan pembangunan serta jumlah penduduk.

Kedua, penggundulan hutan di pegunungan Jawa Barat (Jabar) utara bagian tengah untuk perkebunan teh sejak 1877 karena permintaan ekspor yang tinggi telah membuat erosi hebat.

Setelah 200 tahun, aliran dan alur Ciliwung kembali mengalami perubahan dan gangguan. Sungai-sungai jadi dangkal dan sedimentasi di saluran air Batavia membuat perawatan menjadi mahal.

Breen menekankan kedua hal itu. Ia meminta pemerintah memperhatikan dengan serius peranan unsur noninfrastruktur dalam menanggulangi banjir.

Harus ada seperangkat aturan untuk itu agar kerja infrastruktur banjir berjalan, yaitu menjaga profil semua sungai, menghentikan penggundulan hutan dan reboisasi di selatan Batavia, memelihara resapan serta penampungan air buatan maupun alami waduk maupun situ.

Sebab, masalah air di Batavia bukan menyangkut kelebihan air pada musim hujan, tetapi juga kekurangan air pada musim panas.

Meskipun Presiden Republik Indonesia (RI) Pertama Soekarno seorang arsitek dan mimpinya bangkit untuk mengkonstruksi Jakarta pascakemerdekaan, tetapi ide-ide hidrologi kurang diperhatikannya.

Soekarno baru bertindak setelah banjir hebat di awal 1960 dan 1963. Pada 22 Juni 1965, dikeluarkan keputusan Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir).

Lantas, Pemkot Jakarta mengeluarkan Rencana Induk Pengendalian Banjir 1965–1985. Sekali lagi, rencana induk 1965–1985 memilih cara mengendalikan banjir sistem makro (structural measures) dengan prioritas pembangunan kanal dan sistem polder serta sembilan waduk raksasa.

Seperti ide Breen, rencana induk banjir itu pun bernasib sama, tidak dapat pendanaan sehingga banyak rencana ditunda.

Banyak studi meyakini jika rencana induk 1965–1985 ditunaikan semua, bisa jadi banjir sudah dikendalikan.

Apalagi dengan rencana membuat “ruang biru” yang meliputi kawasan sekitar Jakarta sebagai satu kesatuan penanganan banjir. Termasuk di dalamnya menetapkan besaran ruang hijau yang sangat ideal, yaitu 37,2 atau 241,8 kilometer persegi (km2).

Akan tetapi, bagaimanapun pembangunan infrastruktur banjir selalu keteteran dan ketinggalan dengan perkembangan penduduk serta penggunaan lahan.

Ketika rencana induk banjir 1965–1985 dibuat, Jakarta sudah berpenduduk 3,8 juta jiwa. Selama 1966 hingga 1976 naik menjadi 5,7 juta.

Tata ruang menjadi tata uang

Masih dalam tulisan Rizal, Soekarno bersama proyek metropolitan saat itu ingin mengubah Jakarta setara Paris dan New York, sehingga membuat struktur fisik kota meluas serta berubah.

Pembagian wilayah Jakarta dibagi menjadi lima oleh Ali Sadikin yang memicu pesatnya pemekaran mega urban hingga ke Tangerang, Bogor, dan Bekasi.

Situasi tambah runyam karena pada 1980-an adalah masa para konglomerat properti merajalela. Saking kuat konglomerat properti inilah sejatinya sutradara perubahan kota, bukan gubernur atau bahkan presiden.

Tata ruang telah berubah menjadi tata uang. Mulai dari rawa-rawa di utara Jakarta sampai dengan lembah pegunungan di selatan Jakarta dirambah.

Kata orang Betawi “kampung pohon” dan “kampung air” telah diambil alih manusia rakus. Mereka mengambil tanah juga airnya disedot. Tak pelak terjadi penurunan permukaan tanah.

Banjir besar pada 2002, 2007, 2013, 2014, 2015, 2016, 2017 dan 2020 sesungguhnya berakar dan suatu gambaran situasi kacau Jakarta kontemporer itu, sekaligus cermin banjir zaman Oud Batavia lalu Nieuw Batavia.

Mengutip MH Thamrin, ketika pada 1932 korban banjir di Kampung Pekambangan berasal dari irasionalitas rakyat dan pemerintah ibukota yang berabad-abad kalah berikhtiar, lantas beradaptasi dengan lingkungan yang dianggap identik dengan banjir.

“Banjir dibicarakan hanya saat musim hujan tiba, lantas dilupakan saat air surut dan musim hujan berlalu. Kemudian dibicarakan lagi saat musim hujan datang dengan terkejut karena banjirnya lebih besar lagi,” ucap Thamrin.

Sampai di sini, mungkin sudah waktunya penyelesaian banjir dengan rencana komprehensif tentang daerah penampungan air dan urbanisasi dengan pengetatan infrastruktur.

Penyelesaian banjir harus didasarkan pula pada suatu rencana kultural dengan mengoreksi mentalitas masyarakat serta pemerintah bahwa Jakarta tak identik dengan banjir, tapi air.

Jakarta lahir bersama air hujan tropis 5000 tahun yang lalu yang mengikis punggung rangkaian pegunungan vulkanik Salak dan Gede.

Air itu membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lalu berangsur-angsur jadi dataran endapan lebar yang landai dengan hutan lebat.

Jatipadang, Utankayu dan Tanjungbarat, Telukgong, Rawagatel, Pulomas adalah sedikit dari nama-nama tempat di Jakarta yang banyak sekali mengacu kepada nama pohon bahkan hutan dan air.

Nama-nama tempat itu adalah pengingat masa lampau Jakarta. Hal ini sekaligus menjadi sumber inspirasi untuk membentuk masa depan Jakarta yang seharusnya dibangun dengan orientasi menyediakan ruangan yang luas bagi pohon dan terutama air.

Semua ruang bagi air dari hutan, taman, sungai, sampai pantai harus dipelihara kualitasnya.

Suatu inspirasi sumber kesadaran untuk mulai meninggalkan suatu kota kelabu seperti Jakarta saat ini yang penuh beton dan aspal, seraya memulai kota yang tak sekadar hijau, tetapi juga kota biru.

Tulisan ini berasal dari karya JJ Rizal yang berjudul "Jejak Ribuan Tahun Kota Pohon dan Air".

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/02/03/14001731/jejak-ribuan-tahun-jakarta-sebagai-kota-pohon-dan-air

Terkini Lainnya

Menanti Keberhasilan Pemprov DKI Atasi RTH Tubagus Angke dari Praktik Prostitusi

Menanti Keberhasilan Pemprov DKI Atasi RTH Tubagus Angke dari Praktik Prostitusi

Megapolitan
Asrama Haji Embarkasi Jakarta Pastikan Beri Pelayanan Khusus bagi Calon Jemaah Haji Lansia

Asrama Haji Embarkasi Jakarta Pastikan Beri Pelayanan Khusus bagi Calon Jemaah Haji Lansia

Megapolitan
Asrama Haji Embarkasi Jakarta Siapkan Gedung Setara Hotel Bintang 3 untuk Calon Jemaah

Asrama Haji Embarkasi Jakarta Siapkan Gedung Setara Hotel Bintang 3 untuk Calon Jemaah

Megapolitan
Polisi Selidiki Dugaan Pengeroyokan Mahasiswa di Tangsel Saat Sedang Ibadah

Polisi Selidiki Dugaan Pengeroyokan Mahasiswa di Tangsel Saat Sedang Ibadah

Megapolitan
Mahasiswa di Tangsel Diduga Dikeroyok saat Beribadah, Korban Disebut Luka dan Trauma

Mahasiswa di Tangsel Diduga Dikeroyok saat Beribadah, Korban Disebut Luka dan Trauma

Megapolitan
Kasus Kekerasan di STIP Terulang, Pengamat: Ada Sistem Pengawasan yang Lemah

Kasus Kekerasan di STIP Terulang, Pengamat: Ada Sistem Pengawasan yang Lemah

Megapolitan
Kasus Penganiayaan Putu Satria oleh Senior, STIP Masih Bungkam

Kasus Penganiayaan Putu Satria oleh Senior, STIP Masih Bungkam

Megapolitan
Beredar Video Sekelompok Mahasiswa di Tangsel yang Sedang Beribadah Diduga Dianiaya Warga

Beredar Video Sekelompok Mahasiswa di Tangsel yang Sedang Beribadah Diduga Dianiaya Warga

Megapolitan
Tegar Tertunduk Dalam Saat Dibawa Kembali ke TKP Pembunuhan Juniornya di STIP...

Tegar Tertunduk Dalam Saat Dibawa Kembali ke TKP Pembunuhan Juniornya di STIP...

Megapolitan
Rumah Warga di Bogor Tiba-tiba Ambruk Saat Penghuninya Sedang Nonton TV

Rumah Warga di Bogor Tiba-tiba Ambruk Saat Penghuninya Sedang Nonton TV

Megapolitan
Jadwal Pendaftaran PPDB Kota Bogor 2024 untuk SD dan SMP

Jadwal Pendaftaran PPDB Kota Bogor 2024 untuk SD dan SMP

Megapolitan
Sejumlah Warga Setujui Usulan Heru Budi Bangun 'Jogging Track' di RTH Tubagus Angke untuk Cegah Prostitusi

Sejumlah Warga Setujui Usulan Heru Budi Bangun "Jogging Track" di RTH Tubagus Angke untuk Cegah Prostitusi

Megapolitan
Taruna Tingkat 1 STIP Dipulangkan Usai Kasus Penganiayaan oleh Senior

Taruna Tingkat 1 STIP Dipulangkan Usai Kasus Penganiayaan oleh Senior

Megapolitan
Ketika Ahok Bicara Solusi Masalah Jakarta hingga Dianggap Sinyal Maju Cagub DKI...

Ketika Ahok Bicara Solusi Masalah Jakarta hingga Dianggap Sinyal Maju Cagub DKI...

Megapolitan
Kelakuan Pria di Tanah Abang, Kerap Makan di Warteg tapi Bayar Sesukanya Berujung Ditangkap Polisi

Kelakuan Pria di Tanah Abang, Kerap Makan di Warteg tapi Bayar Sesukanya Berujung Ditangkap Polisi

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke