JAKARTA, KOMPAS.com - Bencana banjir seolah menjadi langganan Jakarta setiap tahunnya.
Setiap era gubernur DKI Jakarta memiliki cara tersendiri untuk menanggulangi banjir. Namun, belum ada cara yang cukup efektif sehingga banjir masih terus berulang setiap tahun.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna mengatakan, penanganan bencana banjir di Jakarta sudah tentu jadi agenda wajib setiap Gubernur DKI Jakarta.
"Memang harus diakui, PR paling besar dari setiap gubernur Jakarta dari tahun ke tahun itu adalah penanganan banjir. Sebetulnya menangani banjir ini susah-susah gampang, tapi kebanyakan susahnya dibanding gampangnya," ujar Yayat saat dihubungi, Selasa (1/2/2022).
Menurut dia, persoalan banjir di Ibu Kota tak sekadar merelokasi wilayah. Perlu dialog antara pemerintah dan masyarakat untuk menemukan solusi.
"Jadi kalau Jakarta sudah kondisi seperti ini, tentu tidak bisa setengah-setengah lagi dalam menanganinya. Dalam banyak hal penanganan banjir itu secara komperhensif kurang banyak melakukan ruang dialog," ujar Yayat.
Yayat menuturkan, pemerintah harus lebih tegas dalam mengatasi penanganan banjir.
Meski begitu, ia tak menampik kurangnya respons dari masyarakat ketika pemerintah berusaha memperbaiki kondisi wilayah yang terdampak banjir.
"Jadi benturan kebijakan dalam implementasi penanganan banjir itu adalah rencana. Retorikanya pemerintah akan menuntaskan banjir tapi logikanya antara perencanaan dengan realitas itu berbenturan. Karena memang sulit meminta kesediaan masyarakat untuk rela berpartisipasi misalnya pindah ke rumah susun dan mendapatkan kompensasi," tutur Yayat.
"Di situlah letak persoalan mendasarnya, makanya penanganan banjir di jakarta selalu mengalami persoalan karena banyak rencana yang gagal implementasi," lanjut dia.
Sistem pengendalian banjir DKI Jakarta
Dalam mengatasi persoalan banjir, saat ini Pemerintah DKI Jakarta memiliki sistem pengendalian banjir drainase utama, drainase kedua dan sistem waduk dan pompa.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air (DSDA) DKI Jakarta mengelola 495 unit pompa air stasioner dan 327 unit pompa mobile yang tersebar di Jakarta.
Namun, menurut Yayat, kapasitas sistem pengendalian banjir yang dimiliki Jakarta saat ini tak mampu mengatasi kondisi perubahan iklim.
Ia menambahkan, upaya sistem pengendalian banjir saat ini harus fokus pada meningkatkan kapasitas daya tampung sistem tanah dan air di Jakarta.
"Sistem yang sekarang itu sudah menggali penurunan karena masalah sentimentasi, pendangkalan, sungai-sungai harus di keruk, misalnya Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat harus diperbaiki lagi dengan ditambah intensitasnya. Jadi kalau sungai enggak dinormalkan ya beratlah," jelas Yayat.
Menurut dia, pemerintah provinsi DKI Jakarta harus mempercepat penanganan waduk yang berada di Ciawi sehingga penanggulangan banjir di Jakarta dapat diatasi dengan normalisasi sungai itu.
"Dengan normalisasi sungainya itu bisa dimaksimalkan kemudian penanganan banjir di Jakarta yang lingkupnya antarwilayah Bogor sampai Jakarta bisa lebih maksimal untuk diatasi," ujar Yayat.
2020 banjir terparah?
Di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sejak 2017, banjir pada 1 Januari 2020 disebut-sebut sebagai banjir terparah.
Tingkat keparahannya terlihat dari jumlah wilayah yang terdampak hingga korban meninggal akibat banjir.
Saat itu, intensitas curah hujan tinggi terjadi tepat menjelang malam pergantian tahun 2020. Hujan mengguyur kota Jakarta dari sore hingga pagi hari.
Berdasarkan hasil pemantauan BMKG di Landasan Udara TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma (Jakarta Timur), curah hujan mencapai 377 milimeter (mm).
Kemudian, dari hasil pengukuran di Taman Mini (Jakarta Pusat), curah hujan tercatat sebesar 335 mm.
Angka ini merupakan curah hujan tertinggi yang menerpa Jakarta, dengan rekor sebelumnya ada pada tahun 2007 dengan catatan 340 mm per hari.
Meski demikian, sebagian warga tetap merayakan malam tahun baru walau kondisi hujan tak kunjung reda.
Keesokan harinya, air hujan mulai menggenangi beberapa wilayah di Ibu Kota. Genangan itu kian naik hingga setinggi 10-350 sentimeter.
Saat itu, selama empat hari air menggenangi Ibu Kota.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, sebanyak 35 Kecamatan yang terdampak banjir.
Hal ini menyebabkan saluran air dan daerah cekung tak cukup untuk menampung air yang akhirnya menyebabkan banjir.
Dilansir dari pantaubanjir.jakarta.go.id, pada Januari 2020, sebanyak 151 Kelurahan terdampak banjir dan sebanyak 36.445 orang mengungi karena tempat tinggalnya terendam.
Bencana tersebut menyebabkan 19 korban meninggal dunia.
Sebulan berselang, banjir kembali melanda ibu kota dan sekitarnya. Wilayah yang terdampak semakin luas.
Namun, jumlah warga yang terdampak lebih sedikit dibandingkan banjir pada Januari 2020.
Berikut data banjir tertinggi secara tahunan di era Gubernur Anies Baswedan mulai 2017-2020:
2017
November
2018
Februari
2019
April
2020
Januari
Februari
Situs Pantau Banjir Jakarta hanya memuat data banjir hingga 2020. Sehingga belum diketahui data banjir di tahun 2021 dan 2022.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/02/05/05300071/banjir-selalu-jadi-pr-setiap-gubernur-jakarta