Pria yang akrab disapa Iskandar itu adalah seorang pedagang nasi goreng yang biasa mangkal di kawasan Karang Tengah 1, Lebak Bulus.
Namun, sore itu ia bukan sedang istirahat di sela berjualan, melainkan tengah menunggu murid-muridnya datang.
Selain berjualan nasi goreng, pria asal Pemalang, Jawa Tengah, ini sudah 19 tahun mengajar mengaji di kawasan Lebak Bulus.
"Selama Ramadhan saya ini berhenti berdagang. Buat makan saya serahin ke Allah. Saya fokus ibadah, dan ini menunggu murid-murid untuk berbuka puasa bersama," kata Iskandar saat ditemui di tempatnya mengajar mengaji.
Iskandar mengajar mengaji di majelis yang didirikannya, sebuah bangunan semipermanen bercat putih dan hijau dengan ukiran kaligrafi.
Bangunan tempat Iskandar mengajar ini tak besar, ukurannya tak lebih dari 300 meter persegi yang dibagi menjadi beberapa ruangan.
Di pintu depan terdapat tulisan yayasan pendidikan Islam bernama "Assyafa'at" dan Madrasah Diniyah Al-Fawwaz.
Lokasinya berada di dalam gang, berhadapan langsung dengan rumah kontrakan yang dihuni Iskandar.
Iskandar mendirikan majelis tersebut di atas lahan kosong yang ia sewa.
"Ini saya sewa Rp 15 juta per tahun. Total murid ada 90 orang dan guru empat orang termasuk saya. Ada beberapa ruangan di sini yang digunakan secara bergantian," kata Iskandar.
Sehari-hari Iskandar mengajar mengaji dan ilmu agama Islam kepada murid-murid di ruangan itu. Waktu mengajar dari pagi hingga sore, sebelum ia berdagang pada malam hari.
Ilmu yang diajarkan kepada para murid merupakan ilmu yang didapatkan Iskandar semasa muda. Ia merupakan lulusan pondok pesantren di wilayah Jawa Timur.
Selama mengajar, Iskandar tak pernah mematok bayaran. Ia menerima berapa saja uang yang diberikan oleh orangtua para muridnya yang bukan hanya warga setempat.
"Paling Rp 20.000, kadang ada juga yang tidak bayar. Saya hanya berpatokan untuk memberi ilmu agar kalau saya sudah tidak ada, tapi ada yang membekas dan ditinggal," kata Iskandar.
"Bahkan untuk beberapa keperluan di sini, kadang saya pakai hasil pendapatan dagangan (nasi goreng). Saya tidak masalah, yang penting anak-anak tak ketinggalan dalam urusan agama," sambung Iskandar.
"Saat itu saya melihat jarang sekali guru ngaji. Saya perhatikan, akhirnya saya bilang sama ibu-ibu, 'Ntar tolong ibu, anak-anak di suruh ngaji'," kata Iskandar.
Saat itu, Iskandar memanfaatkan ruang tamu kontrakan sebagai tempat untuk mengajar.
Tak terasa, waktu terus berlalu, hari berganti minggu, anak-anak yang belajar mengaji terus bertambah. Tempat Iskandar mengajar tak muat lagi menampung murid-muridnya.
Kala itu ia pernah mengajukan untuk mengajar di masjid terdekat, tetapi tidak diperkenankan dengan suatu alasan.
"Saya ingat sampai 2004, tepat kejadian tsunami di Aceh, itu murid saya sudah hampir 50. Akhirnya saya dapat uang Rp 1 juta buat sewa lahan di Jalan H Gandun," ucap Iskandar.
Lahan kosong yang disewa Iskandar itu seluas 250 meter persegi. Di lahan tersebut, ia kemudian membangun tempat mengaji dengan bangunan semipermanen.
Saat itu, Iskandar meminjam uang Rp 1,5 juta untuk membeli kayu. Namun, uang itu tak cukup untuk mendirikan bangunan, sehingga ia berutang ke toko bangunan hingga mencapai Rp 4,5 juta.
"Saat itu (tempat mengajar mengaji) cuma kerangka saja, asbes dan tripleks. Seiring berjalannya waktu, banyak yang membantu, akhirnya 2009 bangunan sempurna, saya rekrut para guru," kata Iskandar.
Tahun 2009, Iskandar menjadikan tempat mengajarnya sebagai yayasan dan mendaftarkannya sebagai madrasah diniyah.
"Tapi sampai pada akhirnya tanah itu mau dijual dan saya pindah tahun 2017. Saya bongkar sendiri, memanfaatkan kayu dan barang lainnya itu untuk bangun di sini," kata Iskandar.
Kini, Iskandar berharap proses mengajar mengaji untuk anak-anak ini turut menjadi perhatian pemerintah, paling tidak soal tempat yang menjadi wadah untuk mengajar.
"Ini rencana habis Lebaran saya mau renovasi karena sudah pada rusak. Ini agar belajar nyaman," ucap Iskandar.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/04/14/04000001/kisah-guru-ngaji-iskandarsyah-bangun-tempat-mengajar-dengan-berutang-kini