JAKARTA, KOMPAS.com - Elemen massa buruh menggelar aksi demonstrasi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat pada Sabtu (10/12/2022) kemarin.
Namun, ada yang berbeda dalam aksi unjuk rasa kali ini.
Biasanya, buruh turun ke jalan untuk menyuarakan kenaikan upah atau isu lain yang bekaitan langsung dengan kehidupan buruh.
Namun, kali ini, buruh juga berunjuk rasa untuk menyuarakan penolakan terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru yang baru saja disahkan DPR bersama pemerintah.
Aksi itu diikuti oleh sejumlah organisasi massa buruh seperti KSPI, ORI KSPSI, KPBI, KSBSI, SPI, Organisasi Perempuan PERCAYA, organisasi pekerja rumah tangga, miskin kota, organisasi pemuda/mahasiswa, dan berbagai elemen yang lain.
Presiden Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Saiq Iqbal mengatakan, penolakan terhadap KUHP dilakukan karena substansi aturan terbaru itu menempatkan warga negara sebagai penjahat.
"Pendekatan warga negara ditempatkan sebagai tanda petik penjahat. Jadi apa pun yang dilakukan warga negara, UU KUHP menempatkan warga negara sebagai kejahatan," kata Iqbal, Sabtu.
Selain penolakan terhadap KUHP, ada beberapa hal yang mereka suarakan dalam demontrasi tersebut.
Beberapa diantaranya yakni menolak omnibus law UU Cipta Kerja, Land Reform - Reforma Agraria dan Kedaulautan Pangan, menuntut disahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), meminta usut tuntas semua kasus pelanggaran HAM yang sudah di rekomendasi oleh komnas HAM, dan menolak upah murah.
Pasal penghinaan presiden
Dari beberapa pasal dalam KUHP yang dianggap oleh massa buruh mencederai demokrasi, pasal penghinaan presiden dianggap paling bermasalah.
Di Pasal 349 ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dapat dipidana hingga 1,5 tahun penjara.
Ancaman pidananya bisa diperberat jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.
Menurut dia, isi pasal dalam KUHP itu telah menghilangkan sisi kemanusian presiden.
"Presiden adalah seorang manusia, di situlah presiden RI dari partai mana pun dia, diuji ketika menjadi presiden, apa dia tidak boleh dikritik oleh warga negara?" tegas dia.
Said pun menyebut, apabila ada seseorang yang dihukum lantaran "menghina" presiden, maka harus dilihat seperti apa konteksnya.
Harus ada batasan yang jelas apakah orang itu memang menghina atau mengkritik kebijakan yang diambil oleh Kepala Negara.
"Kalau ada penghinaan, perbuatan yang tidak menyenangkan harus dilihat dalam konteks bahwa rakyat dengan caranya ingin kritik presiden," kata Said.
"Kalau kemudian dihukum, maka sisi kemanusiaan presiden akan hilang, karena presiden seolah benda mati dan simbol tak boleh dikritik," sambung dia.
https://megapolitan.kompas.com/read/2022/12/11/09113811/saat-buruh-ikut-suarakan-tolak-kuhp-singgung-pasal-penghinaan-presiden