JAKARTA, KOMPAS.com - Pekerjaan sebagai kuli angkut di stasiun atau lebih dikenal dengan sebutan porter, tidak mudah dilakoni, terutama bagi Danuji (52).
Jauh dari keluarga yang tinggal di kampung, tidak menyurutkan semangat Danuji untuk mengais rezeki di tanah rantau. Dia sudah 33 tahun menjadi porter di stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Meski usia sudah setengah abad, semangatnya tetap membara, apalagi ketika mendekati Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri.
Sayangnya, Danuji pernah menerima kenyataan pahit. Tidak selamanya Ramadhan dan Idul Fitri ramai pengunjung. Stasiun sepi, hal ini terjadi saat pandemi Covid-19.
Lalu bagaimana Danuji bisa menyambung hidup? Suka duka apa saja yang dilaluinya selama 33 tahun?
Simak kisah Danuji, mengabdi 33 tahun jadi porter demi anak dan istri.
33 tahun menjadi porter
Tak kenal lelah menjadi kalimat yang pantas ditujukan kepada Danuji. Bekerja mengangkut barang penumpang kereta di stasiun sampai puluhan kilo tak masalah baginya.
Semua dilakukan Danuji selama 33 tahun, demi anak dan istri yang tinggal di kampung halaman, Brebes, Jawa Tengah.
"Tahun 1990, bulan 5, tanggal 11, masih ingat saya. Saya masuk menjadi porter," katanya bercerita kepada Kompas.com, Senin (13/3/2023).
Di Jakarta, Danuji tinggal di sebuah kontrakan. Dia tidak mengajak istri dan anak ke Ibu Kota. Alasannya, biaya hidup terlalu mahal.
"Saya aslinya Jawa Tengah, Brebes, saya di sini itu ngontrak. Anak dan istri di kampung, kalau di sini kan repot ya, buat makan, bayar kontrakan," ujar Danuji.
Pernah dicopet
Menggantungkan hidup menjadi porter selama 33 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Pengalaman pahit sudah dirasakan Danuji.
Apalagi, saat stasiun Pasar Senen masih amburadul. Preman dan mengemis bebas masuk ke area stasiun.
Dampaknya, pekerjaan porter terganggu. Danuji pernah menjadi korban pencopetan tahun 1990, saat dia sedang mencari nafkah.
Saat dicopet, Danuji hanya bisa pasrah, dirinya masih muda dan belum memiliki pengalaman serta keberanian untuk melawan.
"Saya jawab 'ya, enggak apa-apa', ternyata saya dicopet, tahun 1990. Mereka rombongan preman-preman, waduh itu dulu mah kereta berjubel (ramai) banget," ujar Danuji.
Penipu berkedok pengunjung juga sering ditemui Danuji. Dikira ingin memakai jasanya, ternyata diminta menjaga tas yang isiinya koran.
Sampai pada akhirnya keadaan mulai berubah pada 2000. Tahun itu, semua mulai teratur, preman dan pengemis sudah diberantas.
Banting setir
Sebagai porter, Danuji bersyukur keadaan stasiun setiap tahunnya selalu ada kemajuan yang berdampak baik baginya.
Namun, ujian Danuji tidak berhenti sampai di situ. Saat preman sudah tidak ada, pandemi Covid-19 muncul.
Daripada tidak ada penghasilan, Danuji bantir setir sementara menjadi pelaut selama menganggur karena tidak ada penumpang kereta api.
"Waktu masa pandemi itu, aduh, karena saya menganggur terus selama sebulan, akhirnya saya ikut berlayar di laut 5 hari 5 malam," ujarnya.
Danuji menuturkan, selama pandemi itu, ada saja sumbangan yang diberikan orang-orang untuk para porter.
Pasalnya, selama dua tahun pandemi, para porter tidak memiliki penghasilan. Padahal, hidup masih harus terus berjalan.
Penghasilan naik
Setelah melewati duka itu, Danuji bersyukur kini pendapatannya mulai ada lagi walaupun tidak tinggi.
Dari kontrakannya, Danuji menempuh waktu 10 menit dengan jalan kaki ke stasiun. Aktivitas itu dilaluinya selama 33 tahun.
Danuji menawari jasa angkut barang penumpang kereta api selama 12 jam, dari pukul 07.00 sampai 19.00 WIB.
Tak tentu berapa pendapatan, karena tarif seikhlas penumpang, Danuji mendapat biasanya mendapatkan Rp 15.000 dan paling besar Rp 30.000 untuk jasanya.
"Kalau pendapatannya sehari itu saya dari pagi, baru tiga kali, pertama Rp15.000, Rp 20.000, Rp 20.000. Kalau jadi porter itu enggak ditarif tapi memang seikhlasnya," imbuhnya.
Harapan ke depannya, Danuji ingin tetap seperti ini, ia bahkan berdoa agar penumpang semakin ramai menjelang Ramadhan dan Idul Fitri 2023.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/14/10193051/suka-duka-perjuangan-danuji-33-tahun-mengabdi-sebagai-porter-stasiun