Fitri yang rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara itu tidak menampik bahwa saat itu situasinya sangat menakutkan bagi warga setempat.
"Karena ambulans banyak banget. Tiap berapa menit sekali, bunyi (sirene). Orang sini, yang tadinya enggak sakit, jadi ikut sakit. Takut banget dan mencekam," ungkap Fitri saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jalan Rorotan IX, Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (21/3/2023).
Karena bunyi sirene ambulans tersebut, warta setempat termasuk Fitri, komplain kepada pihak rukun tetangga (RT) hingga rukun warga (RW).
Mereka meminta agar sopir ambulans tidak menyalakan sirene saat masuk ke kawasan Rorotan.
"Kan dari sana sudah mulai kedengaran, di Malaka. Semua itu komplain. (Ambulans) sampai dialihkan lewat BKT (Banjir Kanal Timur) atas. Instruksinya begitu," kata Fitri.
Menurut Fitri, bunyi sirene ambulans membuat mentalnya jatuh. Terlebih, ambulans tersebut sampai mengantre di depan rumahnya saat hendak mengantarkan jenazah pasien Covid-19 ke liang lahad.
"Jam 11.00 WIB saja sudah antre 100 ambulans. Petugas saja ada yang sampai cari kantong mayat di sini," tutur Fitri yang merupakan penjual warung kelontong.
Belum sempat petugas tersebut masuk ke area warung kelontongnya, Fitri menyetopnya di depan rumah.
"Jadi, orang-orang yang pada mau belanja ke sini, kalau dia masih pakai baju APD, saya setop di situ, enggak boleh, sama saya enggak boleh masuk. Suasananya bagaimana gitu, mengerikan," ungkap Fitri.
Imbas adanya TPU Rorotan membuat warung kelontong Fitri menjadi sepi pembeli karena pelanggan takut melihat mobil ambulans.
"Sampai saya teleponin langganan saya. 'Kenapa enggak ada yang ke sini?', 'Takut bu, banyak ambulans'. Kayak begitu. Yang tadinya langganan saya banyak, sampai anjlok," ucap Fitri.
Ketika kondisi saat itu terasa mengimpit, Fitri berpikir bahwa hidup harus tetap berjalan. Ia harus menghidupi tiga anaknya, yang dua di antaranya tengah mengemban pendidikan di pondok pesantren.
Fitri kemudian mencoba berjualan pakaian dan memasarkannya melalui media sosial. Sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Uang yang didapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Fitri dan keluarga.
Tak patah arang, Fitri mencari peruntungan dengan berjualan kembang di depan rumahnya untuk para pelayat atau peziarah TPU Rorotan. Usaha kecil-kecilan ini dia rintis pada Agustus 2021.
Kata Fitri, tidak masalah tabungan Rp 1.000.000 dipakai untuk modal. Menurut dia, upaya bertahan hidup di tengah gempuran wabah virus corona tetap harus berjalan.
"Saat itu, intinya, buat memenuhi kebutuhan sehari-hari saja dulu. Ketimbang harus topang dagu, melihat ambulans lalu-lalang? Mau berharap sama siapa? Ya mending saya coba jual kembang," ungkap Fitri.
Sekarang, Fitri bernapas lega. Ia berhasil melewati masa-masa pandemi Covid-19 dengan berjualan kembang.
Bahkan, Fitri tetap melakoni jual kembang hingga sekarang.
"Pendapatannya lebih banyak inilah (jual kembang). Asal ada aja ini mah (warung kelontong) sekarang. Ibaratnya mah, memang karena tempatnya sudah di sini, mumpung dekat makam, ya sudah," imbuh Fitri.
Tanpa segan, Fitri pun mengungkapkan pendapatan kotornya yang sekarang.
"Kalau hari biasa mah sedikit, paling Rp 200.000. (Jelang puasa) Baru ramai lagi. Bisa Rp 2 juta, atau Rp 1,5 juta satu hari," ucap Fitri.
"(Kemarin Minggu saja) Hampir Rp 3,5 juta. Itukan ramai banget, sampai macet di sini," kata Fitri.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/03/21/17200641/kilas-balik-warga-rorotan-tercekam-raungan-sirene-ambulans-pengangkut