Mulanya, ibu satu ini menjelaskan, ia setiap harinya mulai berdagang minuman saset pada pukul 08.00 WIB hingga 17.00 WIB.
Dari sembilan jam berdagang dengan mangkal di pinggir Jalan RE Martadinata, dekat Gerbang Tol Ancol Timur, Pademangan, Jakarta Utara, Yulyanti mendapatkan pendapatan kotor senilai Rp 200.000.
"Sehari terkadang Rp 200.000, terkadang Rp 250.000. Ya nantikan dibelanjakan lagi," kata Yulyanti kepada Kompas.com, Rabu (3/5/2023).
Dari uang yang dihasilkan, Yulyanti menyisihkan Rp 50.000 sebagai keuntungan setiap harinya untuk uang jajan anak dan keperluan sehari-hari.
"Jadi, Rp 25.000 buat dia (anak) jajan, Rp 25.000 irit buat makan. Beli beras satu liter Rp 9.000. Cari yang murah saja. Kalau masih ada yang Rp 7.000, beli itu. Kalau enggak ada, ya Rp 8.000. Kalau umpamanya hari ini lagi enggak ada minyak, ya direbus saja, seadanya," ungkap Yulyanti.
Sementara itu, uang sisanya ia belanjakan minuman saset yang habis untuk dijual keesokan harinya.
Seketika, Yulyanti meneteskan air mata. Saat ditanya apakah sedih saat menceritakan pengalaman hidupnya ini, dia mengelak.
"Enggak kok, Mas. Ini hanya kena debu saja," ujar Yulyanti sambil menyeka air mata.
Namun, saat melanjutkan pembicaraan, dia kembali mengeluarkan air mata dan meminta waktu sejenak untuk berdiam diri.
Setelah menangis, Yulyanti kembali semringah berjualan di tengah teriknya matahari.
"Tetap nyaman menjalani, walau awalnya terpaksa untuk sambung hidup," ucap Yulyanti sambil tersenyum.
Delapan bulan lalu, Yulyanti mengaku terpaksa menjadi PKL, setelah suaminya yang berinisial S (48) terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari pekerjaan sebagai petugas Unit Pelaksana Kerja (UPK) Badan Air Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Hal pahit ini dialami pendamping hidupnya pada Desember 2021 usai bertugas sebagai salah satu petugas UPK Badan Air selama tujuh tahun terakhir.
Semua ini berawal saat S mengalami kecelakaan tunggal pada September 2021 karena menghindari wanita paruh baya yang hendak menyeberang di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara.
"Gara-gara kecelakaan tersebut, patah ininya (tulang kaki), keluar gitu, kecelakaan motor. Akhirnya dioperasi dengan memasang pen di lutut. Saat ini masih dalam masa pemulihan," ungkap Yulyanti.
Yulyanti menuturkan, biaya operasi suaminya ditanggung BPJS Kesehatan. Namun, Yulyanti tetap harus merogoh kantong pribadi untuk biaya perawatan lainnya. Akibatnya, usaha warung sembako di rumah bangkrut.
Pada Desember 2021, kontrak kerja S yang statusnya sebagai pekerja harian lepas ini habis. Kontrak kerja S tak diperpanjang.
Hal ini semua membuat Yulyanti berpikir keras agar dapur tetap mengepul. Berkat saran dari tetangga, dia memberanikan diri menjadi PKL di pinggir Jalan RE Martadinata.
"Tadinya saya jualan (warung sembako) di rumah. Tapi kan kalau di rumah suka diutangin, uangnya enggak ada, modal enggak ada," kata Yulyanti.
Meski awalnya takut berjualan seorang diri di sana, Yulyanti tetap memberanikan diri agar anak perempuannya tetap melanjutkan pendidikan di sebuah universitas di Jakarta.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/04/16155631/tangis-yulyanti-pkl-di-ancol-pendapatan-bersih-hanya-rp-50000-per-hari