JAKARTA, KOMPAS.com - Menjadikan Kampung Bahari, Tanjung Priok, Jakarta Utara, sebagai sasaran penggerebekan oleh polisi dinilai sudah tak mempan untuk basmi sarang narkoba di sana.
Buktinya, polisi dibuat kalang kabut dan menarik diri akibat serangan balik dari sekelompok orang saat razia pada Senin (8/5/2023) lalu, baik itu dengan lemparan batu, kayu, bahkan petasan.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, mengatakan sudah saatnya polisi tidak menggunakan cara represif seperti itu lagi.
"Pendekatan dominan ini sudah salah sejak awal, yaitu pendekatan represif, operasi, razia, dan sebagainya," ucap Rakhmat kepada Kompas.com, Kamis (11/5/2023).
Menurut Rakhmat, pendekatan represif itu selamanya akan dianggap sebagai serangan dari kepolisian kepada mereka yang berada dalam jaringan itu.
"Jaringan itu merasa pendekatan itu sebagai ajakan perang. Apalagi kalau mereka sudah kuat, memiliki jaringan, terlembagakan secara masif," ucap Rakhmat.
Rakhmat berpandangan, bisnis barang haram itu sudah mengakar di sana sebagai suatu sumber kehidupan bagi sebagian masyarakat di sana.
Setiap tindakan represif polisi itu akan dimaknai sebagai perlawanan terhadap lumbung ekonomi mereka, terlebih bagi kelompok prasejahtera di Kampung Bahari.
"Akhirnya ini hanya akan menjadi satu pola akibat dari tindakan polisi yang menghasilkan perlawanan dari jaringan itu yang akan berlangsung terus menerus," tutur Rakhmat.
Tak hanya tanggung jawab tunggal polisi
Rakhmat sepakat bahwa segala bentuk tindakan kejahatan harus ditindak secara tegas dan hukum harus ditegakkan. Tindakan pengamanan polisi tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Namun, kata Rakhmat, perlu ada pendekatan ekonomi, sosial, dan budaya sebagai strategi secara simultan dan paralel yang diterapkan pada warga Kampung Bahari.
"Perlu melibatkan pihak ketiga yang bisa menjadi fasilitator dan pendamping untuk masuk ke lingkungan mereka, misalnya kelompok anak muda atau tokoh masyarakat yang lebih netral dan bisa melakukan pendekatan dialogis," kata Rakhmat.
Rakhma melihat, cara-cara seperti itu belum dilakukan di Kampung Bahari. Jika pun sudah, kata dia, penerapannya belum maksimal. "Saya lihat perlu diaktifkan kembali pendekatan ini," kata dia.
Ada ancaman jaringan lebih besar
Kepala Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Besar Gidion Arif Setyawan mencurigai jerat narkoba telah mengintai kehidupan warga prasejahtera di Kampung Bahari.
Hal ini yang diduga menjadi salah satu penyebab pemberantasan narkoba di kawasan tersebut tak kunjung berhasil.
"Kami bertekad menyelamatkan Bahari, mengembalikan Bahari jadi sebuah kampung yang baik dan konstruktif," ujar Gidion, dilansir dari Antara, Selasa (9/5/2023).
Atas kecurigaan itu, Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Utara Komisaris Slamet Riyanto mengatakan akan mengungkap keberadaan jaringan pemasok yang lebih besar.
Ia curiga ada jaringan lebih besar dari tersangka kasus narkoba asal Kampung Bahari, yaitu Alex Bonpis.
Keberadaan jaringan itu diduga menggerakkan operasi pengintaian terhadap warga yang berpeluang dipengaruhi di Kampung Bahari.
"Di atas dia (Alex Bonpis) masih ada. Akan kami kembangkan terus dengan tetap kami lakukan patroli rutin di sana dari TP3 dan Polsek Tanjung Priok," ujar Slamet.
Menurut catatan Kompas.com, sedikitnya sudah enam kali polisi melakukan penggerebekan kasus penyalahgunaan narkoba di Kampung Bahari sepanjang 2022.
Slamet mengungkapkan desakan ekonomi jadi salah satu alasan penumpasan peredaran narkoba di Kampung Bahari tak kunjung usai.
"Kalau dari keterangan yang kami tangkap, faktor ekonomi lebih cepat mendapatkan keuntungan," kata Slamet.
Tak sedikit warga Kampung Bahari hanya mengandalkan penghasilan dari kerja serabutan. Namun, upahnya hanya Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per hari.
Berdasarkan pengakuan seorang bandar narkoba berinisial RR, ia bisa memperoleh keuntungan lebih dari Rp200 ribu per hari. Satu gram sabu-sabu itu bernilai antara Rp1,3-1,5 juta.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/05/11/11075201/sudah-saatnya-polisi-tinggalkan-cara-represif-untuk-basmi-narkoba-di