JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menilai, Undang-undang Perlindungan Anak tak cukup untuk menghindari mereka dari jeratan prostitusi daring (online).
Seperti diketahui, baru-baru ini polisi menangkap seorang muncikari berinisial FEA (24) yang "menjajakan" 21 anak kepada pria hidung belang. Anak-anak itu ditawarkan melalui media sosial.
"Karena bicara UU Perlindungan Anak, tidak bisa berdiri sendiri. Harus dilengkapi dengan RUU Pengasuhan Anak. Ini darurat," ucap Jasra kepada Kompas.com, dikutip Selasa (26/9/2023).
Adapun Rancangan Undang-undang Pengasuhan Anak ini sudah diusulkan sejak Desember 2019. Namun, hingga saat ini nasib RUU itu belum ada kejelasannya.
Menurut Jasra, RUU ini akan mengatur bagaimana orang tua menyerahkan pengasuhan dan perlindungan pada anaknya di era digital, serta bagaimana digital memiliki tanggung jawab bersama soal pengasuhan anak.
"Ini sangat besar problemnya, dan tidak bisa sekadar di tangani seperti sekarang. Harus ada upaya luar biasa, menyelamatkan anak anak kita," kata Jasra.
Pasalnya, kata Jasra, dalam bisnis prostitusi itu ada berbagai pihak yang menerobos dan berupaya melakukan manipulasi seksual atau grooming mendekati anak dengan masuk ke ranah daring pribadi anak.
"Korban korban yang kita tangani hari ini adalah korban yang berasal dari pelaku yang tidak bisa di sentuh atau cegah. Anak-anak kita temukan ketika sudah menjadi korban," ungkap Jasra.
Sulit ditembus
Jasra mengaku geregetan karena masalah prostitusi yang menjerat anak-anak itu sebetulnya sangat mungkin berada di sekitar kita. Namun, masalah itu masih sulit ditembus.
"Karena semua industri candu melakukan pemasaran produknya melalui ranah daring pribadi," kata dia.
Sengan demikian Jasra memandang perlu ada kebijakan payung untuk menembusnya, salah satunya dengan cara memastikan pengasuhan anak sejak dari rumah.
"Memastikan pengasuhan ada di keluarga, sekolah, lingkungan, masyarakat, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah," ucap Jasra.
Oleh sebab itu, kata dia, peran ini membutuhkan keberpihakan semua pihak dalam memastikan semua bekerja dalam melakukan pengasuhan.
Keberpihakan semua pihak ini merupakan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi. Terlebih,keberpihakan ini masih menjadi lubang kosong dalam sistem perlindungan anak.
"(Lubang itu) harus segera ditutup akibat perkembangan jasa internet, dengan memastikan negara ini memiliki payung kebijakan pengasuhan anak, yang di dalamnya mencakup pengasuhan anak di era digital," kata dia.
Kehilangan figur berlapis
Jasra melihat, anak-anak yang dikorbankan dalam prostitusi online seringkali merupakan anak anak yang telah kehilangan figur berlapis.
"Karena tidak bisa diselamatkan, mulai dari tingkat keluarga, sekolah dan lingkungan terdekatnya. Yang akhirnya di rebut bisnis prostitusi," ucap Jasra.
Sebenarnya, kata Jasra, anak-anak yang terlibat dalam prostitusi adalah rangkaian masalah yang tidak selesai. Prostitusi hanya puncak dari masalah tersebut, yang sebelumya tidak tertangani.
Hal ini, kata dia, terbukti dari asesmen KPAI terhadap remaja putri yang terjerat prostitusi. Jasra menerangkan, terungkap adanya jejaring bisnis yang saling terikat dalam upaya menjebak anak.
Hal ini yang terjadi di Pasar Minggu, Muncikari merekrut anak perempuan yang keluarganya tak harmonis atau broken home dan tidak mendapat perhatian orangtua.
Menurut Jasra, muncikari akan akan memanfaatkan beragam cara, mulai dari memanfaatkan kondisi orang tua yang akhirnya mau melepas anak, ataupun anak yang direkrut teman sebaya.
"Sehingga ada situasi pemanfaatan berlapis atas kondisi anak, yang mudah direkrut. Ada yang justru orang tuanya di penuhi kebutuhannya dari bisnis ini," ungkap Jasra.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/09/26/09300041/muncikari-incar-remaja-putri-ke-dalam-prostitusi-online-kpai--darurat-ruu