JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus tindak pidana pembunuhan di luar proses hukum terhadap empat laskar Front Pembela Islam (FPI) atau yang dikenal dengan kasus Kilometer 50 kembali mencuat ke publik.
Kasus ini diungkit dalam debat calon presiden-calon wakil presiden (cawapres perdana yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Capres nomor urut 1 Anies Baswedan bertanya soal sikap capres nomor urut 2 Ganjar Pranowo tentang penuntasan peristiwa penembakan Km 50 di Tol Cikampek yang menewaskan lima anggota FPI.
Menurut Anies, proses hukum pada kasus itu sudah dijalankan, tetapi belum menghadirkan rasa keadilan bagi keluarga yang ditinggalkan.
"Ini harus menghadirkan rasa keadilan. Bukan saja soal legalnya yang sudah diselesaikan. Saya ingin bertanya posisi Pak Ganjar di 2 peristiwa ini," ucap Anies.
Adapun peristiwa Km 50 atau unlawfull killing ini merupakan insiden penembakan yang terjadi di tol Kilometer 50 Jakarta-Cikampek pada 7 Desember 2020.
Menurut Ganjar, pemerintahan mendatang harus berani menuntaskan persoalan masa lalu sehingga tidak berlarut-larut dan menyandera bangsa.
Ganjar justru menyarankan supaya kembali menghidupkan rencana membahas Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (RUU KKR).
"Sehingga bangsa ini akan maju dan tidak lagi kemudian berpikir mundur karena persoalan seperti itu tidak pernah dituntaskan. Harus dituntaskan," papar Ganjar.
Bermula dari ketidakhadiran Rizieq
Kasus ini bermula dari tidak hadirnya Muhamad Rizieq Shihab dalam pemeriksaan sebagai saksi terkait kasus pelanggaran protokol kesehatan untuk kedua kalinya.
Saat itu, polisi menerima informasi dari masyarakat dan media sosial yang menyebut bahwa simpatisan Rizieq bakal menggeruduk Mapolda Metro Jaya.
Oleh karenanya, Polda Metro Jaya memerintahkan sejumlah anggotanya, yakni Briptu Fikri R dan Ipda M Yusmin.
Kemudian, ada juga Ipda Elwira Priadi, Aipda Toni Suhendar, Bripka Adi I, Bripka Faisal KA, dan Bripka Guntur P menyelidiki rencana penggerudukan tersebut.
Dalam penyelidikan, anggota kepolisian mengeklaim mendapatkan perlawanan dan tindakan kekerasan dari pihak anggota Laskar FPI yang diakhiri dengan penembakan enam laskar.
Dalam persidangan, jaksa penuntut umum (JPU) mengatakan terjadi baku tembak antara para laskar FPI dengan pihak kepolisian.
Baku tembak itu menyebabkan dua laskar FPI yaitu Ahmad Sukur dan Andi Oktiawan tewas.
Ipda Yusmin, Briptu Fikri, serta Ipda Elwira kemudian melakukan pengejaran terhadap laskar FPI lainnya.
Ketiganya berhasil melumpuhkan empat anggota FPI lainnya yakni Muhammad Reza, Akhmad Sofiyan, Luthfi Hakim, dan Muhammad Suci Khadavi.
Keempat anggota FPI itu lantas dimasukkan ke mobil Daihatsu Xenia dengan nomor polisi B-1519-UTI untuk dibawa dan dimintai keterangan di Polda Metro Jaya.
Di dalam mobil, anggota polisi dan laskar FPI disebut melakukan perlawanan yang berujung pada penembakan Luthfi Hakim sebanyak empat kali oleh Elwira di bagian dada kiri hingga menembus pintu mobil.
Elwira juga menembak Akhmad Sofiyan dua kali di dada kiri hingga menembus kaca bagasi mobil.
Saat kondisi sudah terkendali, Fikri mengambil senjatanya dan menembak mati dua orang anggota FPI yang tersisa yaitu M Suci Khadavi dan M Reza yang duduk di kursi belakang.
Setelah empat anggota FPI itu tewas, Yusmin baru menepikan mobil ke bahu jalan tol. Ia pun turun untuk menelepon saksi Kompol Ressa F Maradsa Bessy dan melaporkan peristiwa telah terjadi.
Ketiga anggota kepolisian ini kemudian diperintahkan untuk membawa empat anggota FPI itu ke RS Polri.
Temuan Komnas HAM
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mengungkapkan sejumlah temuan di Tol Jakarta-Cikampek Km 50 terkait bentrok antara polisi dan laskar FPI.
“Di Km 50, terdapat pula informasi adanya kekerasan, pembersihan darah, pemberitahuan bahwa ini kasus narkoba dan terorisme,” kata Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam, Jumat (8/1/2021).
Temuan lainnya, adanya pemeriksaan telepon seluler milik masyarakat di lokasi.
Selain itu, Komnas HAM menemukan adanya pengambilan kamera CCTV di salah satu warung di Km 50 oleh anggota kepolisian.
Setelah dikonfirmasi oleh Komnas HAM, pihak kepolisian mengakui telah mengambil kamera CCTV tersebut. Tak diperinci lebih lanjut kapan kamera tersebut diambil.
Di Km 50, Komnas HAM mengungkapkan bahwa dua anggota laskar FPI ditemukan meninggal setelah sebelumnya terjadi kontak tembak.
Sementara itu, di lokasi yang sama, empat anggota lainnya masih hidup dan dibawa oleh anggota kepolisian.
Berdasarkan keterangan polisi, keempatnya ditembak karena berupaya melawan yang mengancam keselamatan petugas. Informasi tersebut hanya didapat Komnas HAM dari polisi.
Komnas HAM menyimpulkan bahwa penembakan terhadap empat anggota laskar FPI tersebut sebagai bentuk pelanggaran HAM sehingga diminta agar penyelesaiannya lewat jalur pidana.
Dari rekonstruksi, polisi menggambarkan bahwa anggota laskar FPI yang terlebih dahulu menyerang dan menembak polisi saat kejadian.
Sementara itu, pihak FPI telah membantah anggota laskar menyerang dan menembak polisi terlebih dahulu. Menurut FPI, anggota laskar tidak dilengkapi senjata api.
Dituntut 6 tahun penjara
Pada persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, 22 Februari 2022, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella dituntut 6 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU).
Sebelum persidangan berjalan, jumlah tersangka dalam perkara ini mulanya ada tiga.
Namun, satu tersangka, yakni Ipda Elwira Priadi Z, meninggal dunia pada 4 Januari 2021 sehingga penyidikan terhadap dirinya dihentikan.
Dalam tuntutannya, jaksa menyebut bahwa Yusmin dan Fikri sebagai anggota kepolisian abai dalam menggunakan senjata api.
Keduanya didakwa Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Atas tuntutan tersebut, kuasa hukum kedua terdakwa kemudian memutuskan untuk mengajukan pleidoi atau pembelaan.
Namun demikian, pada persidangan yang digelar Jumat (18/3/2022), dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin Ohorella divonis lepas.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan Briptu Fikri dan Ipda Yusmin bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan hingga membuat orang meninggal dunia.
Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman karena alasan pembenaran, merujuk pleidoi atau nota pembelaan kuasa hukum.
Dengan demikian, majelis hakim memutuskan melepaskan kedua terdakwa dari tuntutan hukum dan memulihkan kedudukan, hak, dan martabatnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2023/12/13/15183791/tragedi-km-50-diungkit-anies-dalam-debat-capres-pemilu-2024-begini