JAKARTA, KOMPAS.com - Yuni Sri Rahayu (41) merupakan satu dari ratusan orang yang sedang berebut kursi parlemen di DKI Jakarta dalam pemilihan legislatif mendatang.
Meski ia adalah seorang pekerja rumah tangga (PRT), Yuni tak gentar untuk maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dari Partai Buruh.
Dengan dana kampanye yang terbatas, Yuni tak malu mengecap dirinya sebagai calon legislatif (caleg) duafa.
“Kalau saya mah bisa dibilang caleg duafa, istilahnya enggak punya modal buat kampanye,” ujar dia saat ditemui di kontrakannya, Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis (1/2/2024).
Yuni menyebutkan, sejak masa kampanye dimulai, ia tak banyak membuat alat peraga kampanye (APK). Ia mengeluarkan dana Rp 2 juta untuk membuat beberapa poster, stiker, dan gantungan kunci.
“Kalau yang keluar dari kantong saya cuma itu (poster, stiker, dan gantungan kunci). Ada juga spanduk dengan ukuran agak besar, tetapi itu jatuhnya kolaborasi sama caleg lain dan dia yang bayar,” tutur dia.
Kondisi yang sama juga dilakoni Rusli (54), pengemudi ojek online yang terdaftar sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta Dapil IV dari Partai Buruh.
Ia mengaku tidak mempunyai tim pemenangan. Dia hanya bisa berangkat seorang diri untuk bertemu warga di dapilnya karena dana kampanyenya yang sangat minim.
Rusli terkadang hanya mangandalkan orang-orang terdekat yang ingin membantunya tanpa pamrih. Ia juga harus memasang APK-nya sendiri selepas mencari rezeki.
Selama masa kampanye ini, Rusli mengaku baru mengeluarkan uang senilai Rp 5 juta untuk APK.
Selebihnya, kata Rusli, rupanya banyak penumpang ojek online baik yang mau mendanainya.
Dalam pencalonannya kali ini, Yuni mengaku ingin memperjuangkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) jika terpilih nanti.
“Kalau terpilih, saya konsisten dengan niat saya, yakni mendorong disahkannya UU PPRT,” ujar Yuni.
Pasalnya, tak sedikit rekan sejawatnya di Jakarta yang mendapatkan perlakuan tak pantas dari majikan, antara lain jadi korban penganiayaan, pelecehan, dan diskriminasi.
“Selama ini kami tak ada perlindungan. Tak sedikit yang mendapatkan kekerasan dari majikannya. Makanya saya ingin mendorong disahkannya UU PPRT,” tutur dia.
Sementara itu, Rusli ingin menjadi Caleg DPRD DKI Jakarta untuk memperjuangkan hak-hak para buruh yang termarginalkan oleh penguasa.
Tak mudah
Perjuangan para caleg duafa ini tak mudah. Tak Sedikit rintangan yang mereka alami meski sudah terdaftar sebagai caleg.
Yuni, misalnya, ia tak diperbolehkan untuk melakukan kampanye di kawasan kontrakannya, Cilandak, Jakarta Selatan, meski telah terdaftar resmi sebagai caleg DPRD DKI Jakarta.
“Jujur saja, di sini, di kontrakan saya, saya tidak diperbolehkan untuk sosialisasi waktu minta izin,” kata Yuni.
Yuni menyebut, dirinya tak diberi izin oleh salah satu perangkat wilayah setempat karena wilayahnya telah mendeklarasikan dukungan untuk beberapa caleg.
“Mereka bilang gini, ‘karena di sini sudah mendukung dua caleg, jadi enggak bisa sosialisasi’,” ungkap Yuni seraya menceritakan perkataan oknum tersebut.
Sampai saat ini, Yuni mengungkap, telah berkampanye di beberapa titik. Salah satunya di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan.
Perjuangan yang berat juga dirasakan Rusli. Ia mengaku sering dimintai sembako oleh warga saat "blusukan" ke daerah pemilihannya.
"Setiap saya turun ke dapil, blusukan, 'sembako mana?', 'berani berapa amplopnya?', kan begitu. Iya (warga). Saya kalau turun dapil kan gitu. ‘Wah, kemarin dari partai lain kasih ini’,” ujar Rusli.
Mendengar hal tersebut, Rusli hanya bisa tersenyum sambil memperkenalkan dirinya dan program-programnya jika nantinya terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta.
“Saya bilang, ‘kalau saya memang enggak punya, saya hanya menjual program. Apa yang mau dikasih? Buat saya saja susah. Kan saya ke dapil artinya saya enggak narik. Saya ojol’,” lanjutnya.
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/02/02/10241391/tak-gentarnya-para-caleg-duafa-berjuang-demi-jadi-anggota-dewan-di-ibu