Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Balada Otobus (2): Papa Gak Pulang, Beibeh...

Kompas.com - 13/09/2009, 12:27 WIB

 Antony Lee & M Burhanudin

Hari Minggu (6/9), pukul 18.30. Hari sudah gelap, saat bus berwarna perak metalik itu bergerak perlahan meninggalkan pulnya di Cibitung, Bekasi. Sebanyak 57 penumpang mengisi bus berkapasitas 59 tempat duduk itu, bersiap menempuh perjalanan panjang menuju Yogyakarta. ”Kalau sudah waktunya, kami pasti berangkat. Tak harus menunggu sampai penumpang penuh,” tutur Ahmad Royani, sopir bus Sinar Jaya itu.

Maka, dimulailah perjalanan menembus malam. Menjelang Lebaran seperti saat ini, bus-bus yang melayani rute jarak jauh seperti ini makin sibuk dan dipadati penumpang. Jutaan pemudik mereka angkut tiap tahun menuju kampung halaman masing-masing. ”Sopir enggak pulang saat Lebaran sudah biasa karena saat arus mudik seperti ini kami mengerahkan seluruh armada untuk beroperasi mengangkut pemudik,” tutur Hans Siagian, Manajer Legal dan Kehumasan PT Sinar Jaya Megah Langgeng, perusahaan operator bus Sinar Jaya.

Bus yang dikemudikan Ahmad pun mulai memasuki Jalan Tol Cikampek. Jalan tak terlalu padat, tetapi sopir berusia 52 tahun ini membawa busnya dengan santai, selalu di jalur kiri dengan kecepatan konstan antara 60-80 kilometer per jam. ”Saya tak pernah jalan lebih dari 80 (kilometer per jam), meski kondisi jalan memungkinkan,” ujarnya.

Selain karena pertimbangan keselamatan, Ahmad melakukan itu juga untuk menambah penghasilan. Dengan kecepatan konstan, konsumsi BBM bus pun jadi lebih irit, yang artinya, jatah uang operasional dari perusahaan pun bisa dihemat dan ada kelebihan untuk ia kantongi. ”Setiap berangkat, kami diberi uang operasional buat beli solar, bayar tol, ongkos cuci bus, dan buat ’mel-mel’-an,” ungkap warga asli Tambun, Bekasi, ini.

”Mel-mel”-an yang dimaksud Ahmad adalah berbagai bentuk pungli yang masih merajalela di sepanjang jalan. Sudah jadi rahasia umum, para sopir kendaraan angkutan umum, seperti bus atau truk, menjadi sasaran empuk pungutan liar ini.

Pas-pasan

Berbeda dengan umumnya sopir bus yang memakai sistem setoran, Ahmad dan rekan-rekannya sesama sopir bus Sinar Jaya tak pernah dikejar target semacam itu. Mereka mendapat penghasilan tetap setiap bertugas yang disebut uang PP, yakni honor yang diterima setelah menyelesaikan satu rute pergi-pulang.

Besar uang PP untuk jurusan Jakarta-Yogyakarta adalah Rp 76.000. Ditambah sisa uang operasional tadi, Ahmad mengaku bisa mendapat penghasilan bersih Rp 150.000 tiap perjalanan pergi pulang. Dalam sebulan, ia rata-rata mendapat jatah mengemudi 11 kali PP atau 22 hari kerja, dengan penghasilan bulanannya sekitar Rp 3,3 juta.

Untuk menyiasati penghasilan yang terbatas ini, para sopir bus mencari penghasilan tambahan saat libur. Ahmad, misalnya, menyambi berdagang mobil bekas. Hasilnya cukup untuk membiayai anak bungsunya kuliah di UGM Yogyakarta.

”Meskipun penghasilan pas- pasan, yang penting anak saya bisa lebih baik dari saya,” tekad pria yang menjadi sopir bus sejak 23 tahun silam itu.

Lain lagi Nono Daryono (49), pengemudi bus Bejeu (BJU, singkatan dari Bongkotan Jati Utama) jurusan Jakarta-Jepara (Jateng), sempat nyambi jadi penggali kubur sebelum bergabung di perusahaan otobus (PO) baru ini.

”Waktu itu saya kepepet karena jatah nyopir cuma dapat sekali sebulan gara-gara penumpangnya sepi. Kebetulan rumah saya dekat kuburan. Saya dibayar Rp 20.000-Rp 30.000 setiap menggali,” tutur Nono.

Suka duka

Penghasilan pas-pasan bukan satu-satunya tantangan hidup yang harus dihadapi para sopir bus ini. Di jalan, mereka harus menghadapi hidup yang keras dan tak jarang nyawa menjadi taruhan. ”Kami pernah kehilangan sopir hanya gara-gara orang iseng. Mereka melempar batu ke kaca bus yang sedang melaju kencang. Batu itu mengenai mata sopir, yang lalu tidak bisa mengendalikan bus dan nabrak pohon,” ungkap Hans.

Nono pun pernah punya pengalaman pahit. Tahun 1998, ia menyenggol seorang pengendara sepeda motor di Wiradesa, Pekalongan, Jateng. Pengendara sepeda motor itu, yang ternyata seorang janda anak satu, kehilangan kaki kirinya. ”Saya dipaksa mengawini dia, kalau tidak, perkaranya mau diperpanjang. Akhirnya saya kawini dengan sepengetahuan istri saya. Tetapi tidak bertahan lama karena jarang ketemu,” kata pria yang sudah 15 tahun jadi sopir bus ini.

Ahmad menambahkan, menjadi sopir bus malam tak cuma dituntut kuat secara fisik untuk menempuh jarak ratusan kilometer tiap hari, tetapi juga ketangguhan mental psikologis karena begitu banyak sumber stres di jalan. Mulai dari truk-truk besar yang lambat dan tak mau minggir, sampai para pengguna kendaraan pribadi yang tak tahu etika berlalu lintas. “Mereka sering main serobot di jalan, menyalip dari sisi kiri, tak memperhatikan lampu sein, dan tetap memacu kendaraan kencang saat kendaraan lain hendak menyalip,” ungkap Ahmad.

Namun, tak ada yang mengalahkan rasa sedih saat harus jauh dari keluarga saat Lebaran. Dua tahun berturut-turut, Nono harus menghabiskan dua hari Lebaran dengan menunggui bus kosong di Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Bosnya belum mengizinkan ia pulang ke Jepara sebelum ada penumpang yang diangkut. ”Rasanya mau nangis. Apalagi di Jakarta susah cari makanan. Penjualnya banyak yang mudik,” ujarnya.

Lebaran ini, papa gak pulang lagi, beibeh....(Dahono Fitrianto)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com