Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: "Nyelak"

Kompas.com - 11/10/2009, 07:11 WIB

Saya terbang ke Kota Buaya tiga hari setelah penyelakan di ruang mewah di hotel berbintang itu. Saya duduk bersebelahan dengan mas-mas, berewok, besar dan ndut. Saya membuka net book mungil untuk menyelesaikan tulisan ini. Setelah nyaris setengah jam, lengan saya mulai membutuhkan waktu istirahat dan otomatis saya menyenderkan lengan ke lengan kursi.

Sayangnya, lengan kursi itu sudah terlebih dahulu diisi lengan besar mas-mas tadi. Saya mau menumpukkan di atas lengannya tentu tak mungkin. ”Sandwhich, kale,” nurani saya ternyata bisa berteriak sesubuh itu dan di ketinggian tiga 36.000 kaki.

Ingin berbicara dengan dia untuk gantian menikmati senderan lengan itu, saya tak berani. Jadi yaa… ngalah sambil berpikir apa mungkin yaa... lengan kursi itu digilir saja. Sekian menit buat yang duduk di tengah, sekian menit untuk yang duduk di tepi lorong. Kan kita sama-sama bayar, sama-sama duduk di kelas ekonomi, ya... sama-sama punya hak menikmati.

Kejadian semacam itu sudah saya rasakan di ruang perkawinan lain, di lapangan terbang, di ATM, di mana saja, kapan saja. Pertanyaan terakhir muncul lagi. Mengapa tak ada yang membuat antrean panjang dan menyelak di rumah yatim piatu? Di rumah jompo?Di rumah ibadah pada hari-hari biasa, bukan hari istimewa?

Mengapa kok enggak ada yang menyelak waktu mengantre membayar pajak? Saya menanyai nurani saya. Eh… dia diam saja. Mungkin masih tertidur sesubuh itu. ”Wueee… bangun.” Tak ada suara juga.

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

 

KILAS PARODI

Biasakan…

1. Mendisiplinkan diri. Susah memang, tetapi apa boleh buat. Saya dan Anda semua tahu, berbuat yang baik dan benar itu susahnya setengah mati dan kadang mengesalkan. Tetapi, seperti susahnya menjalani hidup ini, Anda toh tetap harus bertahan hidup dan tak langsung gantung diri. Artinya, mau susahnya seperti apa, ada tujuan akhir yang Anda ingin capai. Itu membutuhkan kedisiplinan. Kedisiplinan dalam urusan mengantre juga untuk melatih agar Anda tak terlalu egois dan berakhir dengan membahagiakan orang lain.

2. Memiliki tenggang rasa, bukan tegang rasa. Tenggang itu berarti memiliki rasa toleran. Rasa ini tak boleh hanya berlaku saat Anda melihat orang kesusahan, tetapi juga saat mau membuat manusia lain berbahagia. Anda ingin anak dan pasangan bahagia, tak mungkin kalau Anda tak punya tenggang rasa.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com