Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parodi: Bintang Lima

Kompas.com - 10/11/2009, 17:31 WIB

Oleh Samuel Mulia

KOMPAS.com- Akhir pekan minggu lalu saya habiskan dengan bekerja di Kota Buaya, tepatnya di hotel berbintang lima, lebih tepatnya lagi di sebuah hotel resor. Saya juga kaget, ada hotel resor di tengah Kota Buaya yang panasnya saat itu mencapai tiga puluh delapan derajat celsius.

Melangkah keluar dari lapangan terbang dan keluar dari mobil saat tiba di tempat penginapan itu kulit terasa cekit-cekit. Cekit-cekit itu sama dengan perasaan yang Anda alami kalau menggigit lombok rawit. Sengaja atau tidak sengaja. Kalau teman saya arek Suroboyo bicaranya seperti ini, ”Sambele ndek ilat cekit-cekit.”

Mungkin sudah waktunya kalau kota penuh beton ini punya hotel resor, yang bisa menjadi tempat pelarian sejenak untuk ”mendinginkan” mata dan berefek sampai ke emosi. Saya tiba di penginapan sekitar pukul delapan pagi, senang melihat taman luas asri buatan seorang arsitek taman yang kondang, setelah melihat pemandangan rumput kering berwarna coklat mengenaskan sepanjang perjalanan menuju ke tempat penginapan itu.

Turba

Kalau saya mendengar hotel berpredikat atau dikategorikan bintang lima, pemikiran saya hanya sampai kepada kemewahan interiornya, kecanggihan fasilitasnya, tamu-tamu ternama yang pernah menginap, dan harganya yang selangit dibandingkan dengan hotel ecek-ecek.

Pada akhir pekan itu saya belajar sesuatu, yaitu yang namanya hotel berbintang lima ternyata bukan sekadar tempat penginapan yang memberi gengsi semata, tetapi petingginya bisa turun langsung melayani tamunya seperti bukan petinggi. Sebuah tindakan nyata, bukan sekadar slogan menarik, seperti dalam iklan hotel berbintang pada umumnya.

Setiap pukul enam sore para bos berkumpul di lobi hotel, menyapa tamu, membagikan kartu nama, bukan untuk memasarkan diri sendiri, tetapi untuk memudahkan tamunya berbicara langsung kepada mereka. Mau memuji kek, mau complain kek.

Kehadiran mereka di lobi membuat para tamu tak perlu susah-susah membuat perjanjian curhat dengan mereka. Pengalaman saya, kalau mau bertemu petinggi jalannya lebih banyak berliku ketimbang lurus. Petugas ”satpam”-nya banyak dan kadang ada petinggi yang senang membuat jalan berliku supaya terasa ia petinggi. Kalau gampang, takut kelihatan kayak jongos. Yaaaa… kalau bisa disusahkan, mengapa mesti dimudahkan.

Kehadiran bos-bos di lobi hotel itu melahirkan pertanyaan. Mengapa mereka melakukan itu? Tidak seperti saya, mereka mau mencoba berdiri di sisi orang lain, tepatnya berdiri di sisi konsumen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com